Jika dihitung dari terbitnya Kepmendikbud Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, maka usia Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah telah menginjak empat belas tahun. Jika dihitung dari kelahiran UU Nomor 20 Tahun 2003, maka usia Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah setahun lebih muda, yakni tiga belas tahun
Percayakah pembaca dengan tuah angka tiga belas? Apabila pembaca mempercayainya, maka berhentilah Anda meneruskan membaca tulisan ini. Tidak ada gunanya. Artinya, Anda memang telah menemukan angka sial tersebut, bukan nanti, tapi saat ini.
Jika pembaca tidak percaya semua itu, teruslah membaca tulisan ini. Insya Allah, usia Dewan Pendidikan belum mencapai akhir perjalanannya. Wallahu alam bishawab kapan akan terbentuk. Hanya Allah yang maha menentukan. Manusia memang harus berusaha dan berdoa. Berusaha dulu lalu berdoa atau berdoa dulu baru berusaha, itu tergantung kita. Proses pembentukan Dewan Pendidikan Nasional tidak ditentukan oleh tuah angka tiga belas, tapi oleh komitmen kita semua untuk secara amanah membentuknya sesuai dengan ketentuan yang telah mengaturnya. Kuncinya hanya ada dua hal, yakni mau dan mampu melaksanakanya.
Kembali kita harus memutar jarum sejarah. Kliping koran terpaksa harus kita buka. Dalam koran Komas, tanggal 16 Okober 2014, pemerhati pendidikan Doni Koesoemo A menulis artikel bertajuk Legitimasi Moral Dewan Pendidikan Nasional. Tulisan itu mengingatkan tentang fungsi stratesis Dewan Pendidikan sebagai pengawal dan pengontrol sistem dan penyelenggaraan pendidikan. Selain itu, Doni Koesoemo A juga dengan pedasr telah mengritik proses pembentukan Dewan Pendidikan nasional yang dinilai sebagai sarat dengan kepentingan politis. Ujung-ujungnya proses pembentukan Dewan Pendidikan Nasional yang pendaftarannya dibuka oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 15 – 22 September 2014 telah gagal menghasilkan calon anggota pengurus Dewan Pendidikan Nasional. Proses pembentukan Dewan Pendidikan Nasional pada waktu itu disebutnya hanya sebagai delegitimasi moral belaka.
Kritik terhadap proses pemilihan anggota DPN
Lepas dari kemauan baik Mendikbud di bawah pemerintahan SBY, kita memang tidak dapat menutup mata bahwa proses pemilihan DPN tidak diawali dengan sosialisasi dan pesiapan yang matang. Proses pendaftaran calon anggota pengurus DPN terkesan dilakukan secara diam-diam, dan bahkan grusa-grusu, mula-mula lambat tapi kemudian dituntut segera. Kalau mau diakui, cara seperti itulah yang biasa dilaksanakan oleh sistem birokrasi kita. Kalau kita mau menoleh ke belakang, proses penjabaran Pasal 56 UU Nomor 20 Tahun 2003 menjadi PP Nomor 17 Tahun 2010 telah memakan waktu hampir delapan tahun. Padahal waktu yang ditetapkan dalam UU paling lambar hanya dua tahun (periksa Pasal 75 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas).
Kritik lainya adalah tentang persyaratan SKCK yang dinilai tidak relevan dan tidak penting untuk dapat menjaring calon DPN. Persyaratan SKCK itu hanya cocok untuk menjaring para teroris. Padahal persyaratan SKCK tersebut barulah sebagai mrnilsi persyaratan administratif, dan belum sebagai alat untuk menjaring calon yang memiliki kompetensi dan kapabelitas dalam bidang pendidikan. Tapi perlu diketahui bahwa proses pendaftaran calon anggota DPN pada saat itu sesungguhnya telah menghasilan seratus sembilan puluh calon, yang puluhan di antaranya bergelar Profesor Dr. dalam berbagai cabang ilmu, termasuk ilmu pendidikan. Proses penilaiannya telah melibatkan Balitbang Dikbud, dan telah menghasilkan langkah terakhir untuk menghasilkan calon yang akan diusulkan kepada Mendikbud yang baru. Tapi apa daya. Manusia hanya dapat berusaha. Tuhan Yang Maha Kuasalah yang mengatur dan menentukan hasilnya.
Kembali pertanyaan dalam tajuk ini akan muncul kembali. Inikah akhir perjalanan Dewan Pendidikan sebagai lembaga adhock dalam sistem pendidikan nasional kita? Pertanyaan tersebut pasti akan menjadi pertanyaan Dewan Pendidikan Provinsi dan Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota di negeri ini, termasuk di dalamnya Majelis Pendidikan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh, yang perkembangan politiknya relative berbeda dengan provinsi lain di Indonesia tercinta.
Timing yang tidak tepat
Memang akhirnya harus diakui bahwa proses pembentukan DPN pada waktu itu memang sangat tidak tepat. Tanggal 15 – 22 September 2014 proses pendaftaran calon anggota DPN. Tanggal 20 Oktober 2014 merupakan waktu pergantian pemerintahan SBY kepada Jokowi, sungguh waktu yang sangat mendesak yang hanya akan menghasilkan proses yang buru-buru dan grusa-grusu. Kegiatan yang dilakukan dengan cara yang buru-buru dan grusa-grusu seperti itu hanyalah perbuatan setan.
Oleh karena itu, jika kita dapat menyatakan bahwa kegagalan pembentukan DPN di penghujung pemerintahan SBY dan perpindahan ke awal pemerintahan Jokowi semata-mata karena timing yang tidak tepat. Meski jawaban terhadap pertanyaan tersebut belum juga berakhir, karena jawabannya sesungguhnya tergantung kepada komitmen kita. Sementara kita memiliki empat tangga komitmen. Tangga terbawah adalah EGP (emangnya gua pikirin), kedua mampu tapi tak manu, ketiga mau tapi tak mampu, dan komitmen tertinggi adalah amanah, yakni mampu dan sekaligus mau.
Sinergi birokrasi dan masyarakat
Diharapkan mudah-mudahan tahun 2016 ini bukan sebagai akhir perjalanan panjang lembaga ad hoc Dewan Pendidikan sebagai wadah peran serta masyarakat. Birokrasi dan masyarakat ibarat dua sisi mata uang. Keduanya harus bersinergi. Sinergi artinya sinkronisasi energi. Birokrasi punya satu energi yang luar biasa. Masyarakat memiliki energi yang luar biasa pula. Apabila keduanya dapat melakukan sinergi, maka sinergi itu akan dapat menghasilkan keuatan yang maha dahsyat, untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan dan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Insya Allah, Amin.
Depok, 1 Juni 2016.