BEKASI SELATAN – Sejumlah kepala sekolah di Bekasi dilaporkan ke polisi oleh atas tuduhan melakukan pungutan liar. Pelaporan dilakukan oleh wali murid yang berbondong mendatangi Mapolresta Bekasi Kota, Minggu (24/7).
Heru (38), warga Wismajaya, Kelurahan Arenjaya, Bekasi, mengaku melaporkan Kepsek SMAN 18 atas dugaan pungli Rp 2.855.000 kepada siswa baru. "Saya mewakili keponakan saya. Dia masuk melalui jalur umum PPDB online. Harusnya gratis, tapi kok ini bayar. Dari total pungutan Rp 2.855.000, saya baru bayar Rp 1.050.000 ke sekolah. Ini uang untuk apa?" tanya Heru kepada wartawan usai melapor.
Heru mengatakan, pihak sekolah klaim pungutan tersebut untuk pembayaran uang gedung, seragam, dan SPP selama satu bulan. Bila tidak membayar maka keponakannya dianggap mengundurkan diri.
Namun Heru yang berprofesi sebagai buruh serabutan tidak mampu memenuhi tuntutan pihak sekolah tersebut. "Kami ini warga miskin. Penghasilan saya hanya Rp 1 juta sebulan. Katanya gratis tapi kok disuruh bayar. Kalau gak bayar dianggap mengundurkan diri, makanya saya lapor ke sini (polisi)," lanjut Heru.
Lain Heru, lain pula Ida (66). Warga Arenjaya ini mengaku melaporkan Kepsek SMPN 11 Kota Bekasi karena dugaan pungli Rp 620 ribu yang ditarik pihak sekolah kepada cucunya. Menurut dia, sang cucu lulus PPDB online melalui jalur afirmasi.
"Saya udah bayar sesuai yang diminta. Tapi gak ada kuintasinya. Saya tanya untuk apa mereka jawab udah peraturan. Ini kan sekolah negeri tapi malah disuruh bayar," keluhnya.
Kecurigaan adanya pungli juga diungkapkan Aminah. Anak Aminah gagal masuk SMPN 11 melalui jalur afirmasi dengan alasan nilai mata pelajaran matematikanya tidak memenuhi persyaratan.
Namun dia curiga alasan sebenarnya adalah karena tidak menyetor uang ke pihak sekolah. "Anak saya nilainya 72.00. Tapi kata sekolah harus delapan. Jadi gagal. Tapi yang saya bingung, ada anak yang masuknya barengan sama anak saya lolos melalui jalur yang sama padahal nilainya anak itu rendah cuma 23.50. Sedangkan standarisasi nem di SMPN 11 itu adalah 25.30,’’ protesnya.
Aminah khawatir bila anaknya sekolah di sekolah swasta tidak akan mampu secara pembiayaan, mengingat suami yang menjadi tulang punggung keluarga telah meninggal. "Kalau tidak bisa sekolah negeri bagaimana nasib anak saya. Nggak mungkin mampu saya menyekolahkan anak saya di sekolah swasta,’’ ujarnya sambil menangis. (dat/dil/jpnn)
Selengkapnya: www.jpnn.com