DUNIA pendidikan dihebohkan dengan gagasan full day school yang dilontarkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy. Ada yang setuju dan ada pula menolak.
Umi Hany Akasah/Baihaqi Almutoif – Radar Surabaya
Reaksi penolakan muncul dari Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Risma menyatakan, tidak bisa menerapkan sistem full day school untuk semua Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Surabaya.
Dipastikan, sebagian orang tua akan merasa keberatan bila semua sekolah menerapkan sistem tersebut.
“Karena, kan ada orangtua yang tidak suka. Mungkin ibunya tidak kerja, pengen kumpul sama anaknya,” ujarnya usai menghadiri Rapat Kerja Kepala Sekolah se-Surabaya, di Convention Hall, kemarin(9/8).
Sebenarnya, sebagian sekolah di Surabaya sudah berkonsep full day school, namun sebagian lainnya tidak. Karena memang dalam konsep full day school itu dipastikan akan banyak yang dipikirkan dan direncanakan.
Salah satunya, yakni kebutuhan makan bagi siswa, bila full day school diterapkan, akan ditanggung oleh Pemkot Surabaya.
“Saya harus mikirkan makannya. Kalau kami bebankan ke orangtua, belum tentu mampu. Untuk anak SMK saja, padahal tidak semua (menjalani full day school, Red) kebutuhan makan bisa beberapa miliar. Itu kan besar sekali. Apalagi sak Suroboyo, kan berat,” tandas dia.
Namun, Risma mengatakan bukan tidak mungkin Surabaya menerapkan sistem itu untuk semua sekolah SD dan SMP di Surabaya.
“Kami masih memberikan pilihan. Tergantung kesiapan kepala sekolahnya. Karena ini juga nyangkut guru, ruang kelasnya, lalu aktivitasnya apa? Termasuk dana (makanan, Red) itu,” katanya.
Tak hanya itu, full day school juga harus menyiapkan kesiapan guru. Terutama untuk guru SD yang merupakan guru kelas. Menurutnya, tidak mungkin guru kelas di SD mengajar siswa sejak pagi hingga sore.
“Tidak semudah itu. Guru SD kan guru kelas. Harus ada gantinya. Kecuali kalau SMP, yang memang tiap pelajaran ganti. Terus mau diisi apa?” tandas dia.
Jikapun itu menjadi peraturan pemerintah, Risma mengaku masih perlu melakukan kajian, konsep sistem full day school yang tepat bagi setiap sekolah yang ada di Surabaya. Termasuk efektivitasnya terhadap perkembangan anak-anak.
“Harus kami godok per sekolah. Tidak bisa dipukul rata. Kalau tidak siap, nanti anak-anak ini ke mana? Apalagi anak kelas I (SD) yang biasanya sampai jam 12 siang saja,” jelas dia.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan (Dispendik) Jatim Saiful Rachman mengatakan, secara prinsip pihaknya mendukung apa pun kebijakan dari pusat. Namun, penerapan full day school di Jatim harus melihat situasi terlebih dahulu.
"Barangkali tidak serta merta semua sekolah dulu," katanya. Sebagai percontohan, lanjut Saiful, bisa dilakukan untuk kota-kota besar.
Mantan kepala Badan Diklat Jatim ini menambahkan, selama ini konsep full day school sudah berjalan di beberapa sekolah, terutama bagi sekolah swasta. Jadi, pihak Kemendikbud tinggal menyosialisasikan kepada sekolah-sekolah lain untuk menyiapkan diri.
Saiful menyebut, dengan berada di sekolah dari pagi sampai sore, diharapkan karakter siswa bisa terbentuk. Dia mencontohkan sekolah-sekolah di Jepang dan Korea Selatan. Di dua negara itu, karakter dibentuk, digembleng masalah kenegaraan, hingga peningkatan sumber daya manusia (SDM).
“Full day school bisa efektif membentuk karakter siswa. Contohnya sudah ada di Jepang dan Korea Selatan,” tandasnya.
Kepala Bidang Pendidikan Dasar (Dikdas) Dinas Kota Surabaya, Eko Prasetyoningsih mengatakan, jika full day itu harus dilakukan, maka nantinya DPR dan pemkot harus membuat program konsumsi anak-anak sekolah.
“Itu kalau menghendaki sekolah tetap gratis. Bisa dilakukan dengan cara lainnya yakni memberi makan siang harus disediakan orang tua. Tapi, kan tidak enak kalau makannya dari pagi terus dimakan sore,” kata dia. (*/no/sam/jpnn)
Selengkapnya: www.jpnn.com