Suara.com, Selasa, 09 Agustus 2016 menulis tentang gagasan Mendikbud tentang FDS (full day school) yang pada saat ini masih dalam proses pengkajian yang lebih mendalam. Respon paling cepat dari masyarakat terhadap gagasan itu adalah dengan mengatakan bahwa ganti menteri ganti kebijakan. Pomeo berikutnya adalah kebijakan yang dilahirkan tersebut dikenal lemah, karena belum melalui kajian yang mendalam, dan juga belum diujicobakan. Oleh karena itu, benar sekali jika Mendikbud menyatakan bahwa kebijakan tersebut masih harus diuji coba sehingga benar-benar menjadi kebijakan yang dapat dilaksanakan dengan baik dan lancar.
Perbandingan kebijakan pendidikan di Malaysia dan Indonesia
Tulisan ini mengingatkan saya ketika bertugas menjadi Kekolah Indonesia Kuala Lumpur di Malaysia. Kebijakan tentang Sekolah Bestari atau Smart School (Sekolah Cerdas) hampir bersamaan dengan RSBI (Rintisan Sekolah Berbasis Internasional) di Indonesia. Kebijakan RSBI lemah, dan oleh karena itu dengan mudah digoyang oleh masyarakat pendidikan, dan akhirnya mudah dimansuhkan oleh MK pada tanggal 8 Januari 2013.
Kebijakan tentang sekolah bestari atau sekolah pintar (smart school) sampai kini berjalan lancar dan masih bertahan sampai saat ini. RSBI di Indonesia dan Sekolah Bestari di Malaysia sama-sama untuk mencapai sekolah berbasis teknologi informasi, yang diharapkan dapat menjadi sekolah unggulan untuk membentuk generasi unggul di dunia. Sebagai gambaran, proses pengembangan Sekolah Bestari sudah terjadi beberapa tahap sebagai berikut: tahap I (1999 – 2002) berhasil membangun 88 sekolah, tahap II (2003 – 2005) pelatihan ICT (information and communication technology) di semua sekolah, tahap III (2006 – 2010) penerapan standar ICT. Akhirnya penerapan tahap IV (2011 – 2020) merupakan tahap pelestarian sekolah sampai saat ini (http://www.epu.gov.my/) mengikuti hasil kajian untuk mencapai visi tersebut.
Komentar, usul, dan masukan untuk kebijakan pendidikan
Ada baiknya kajian full day school ini melibatkan suara masyarakat melalui media sosial, karena berasal dari berbagai kalangan yang sangat beragam, meskipun terbatas pada masyarakat yang melek internet saja. Beberapa masukan dari media sosial tersebut dapat digolongkan dari beberapa pertimbangan sebagai berikut:
- Sosial-ekonomi. Salah satu komentar yang ditanyakan tentang kebijakan FDS adalah soal isu ekonomi, karena kondisi sosial ekonomi, antara lain pertanyaan “apakah makan peserta didik ditanggung sekolah?
- Absen guru di sekolah negeri. Menurut pengamatan pembaca, absen para guru di sekolah negeri cukup tinggi. Banyak guru yang bolos. Dengan demikian dengan kondisi gurunya yang jarang masuk sekolah, bagaimana manajemen kelasnya, apakah anak-anak tidak akan tambah liar di sekolah? Ngobrol, bercanda, bermain, menyelinap ke warung-warung sekitar sekolah, merokok, dan sebagainya.
- Pekerjaan rumah peserta didik. Kapan peserta didik mengerjakan PR? Padahal kebanyakan guru “demen ngasih PR” sementara itu anak-anak pulang sekolah sudah payah dan tidak lagi fokus dalam mengerjakan PR dan belajar.
- Peserta didik di sekolah swasta sudah biasa, masuk pukul 7.00 pulang pukul 15.30. Tapi tidak ada PR lagi. Dapat istirahat sebentar, masih sempat bermain dengan teman-teman tetangganya, dan yang lebih penting adalah Sabtu dan Ahad libur.
- Ada komentar yang agak sinis, begini. Kurikulum 2013 (K-13) belum selesai BOSS! Muncul lagi FDS (full day school). Jangan-jangan karena Bahasa Inggris, biar dibilang keren!
- Sekolah fullday di Jakarta juga pada, baik pagi dan sore hari. Harus menjadi pertimbangan. Selain itu banyak anak-anak SMP yang ikut BIMBEL di sore hari dan hari libur. FDS OK tapi bukan hanya untuk tambahan seni budaya dan keartifan lokal saja, tapi masa kecil harus diberikan dasar-dasar agama yang kuat juga, misalnya membaca dan menghafal Al-Quran, bukan bisa dan pinter nyenyi/nari saja. Pemimpin yang baik harus berfikir jauh ke depan, dunia dan akhirat.
- Sama dengan komentar sebelumnya.
- Saya setuju dengan dua hari libur, tapi untuk FDS no! Anak saya punya adik yang juga butuh perhatian dan teman bermain dengan kakaknya. Kasihan kan?
- Pakkkk! Indonesia bukan cuma Kota Besar. Sekarang saja jutaan anak ke sekolah barus lewat rawa, menyeberang kali, naik perahu, geleantungan tali, nembus hutan, melawan lumpur dan hujan. Berangkat masih gelap, pulangnya juga jelang gelap. Boro-boro uang jajan, bekal atau makan, sampai di rumah masih harus bantu kerja supaya sekedar bisa makan. Gurunya kan juga punya suami/istri dan anak yang harus diurus. Hadeeuuh …. Semoga saya yang gagal memahami kebijakan tersebut dan gagal menangkap pikiran Anda.
- Saya dulu sekolah sampai siang saja strees, apa full day. Mentri ini cari sensasi…
Akhirul Kalam
Kesepuluh butir komentar dan masukan terhadap kebijakan yang akan diluncurkan oleh Mendikbud yang baru tersebut memang sengaja tidak disebutkan nama-nama dan alamatnya, agar bebas menyampaikan pendapat. Demikianlah luasnya pemikiran dan keinginan manusia. Ada memang yang sangat positif dan hal demikian harus mendapatkan perhatian bagi pengambil kebijakan. Misalnya kemungkinan meliburkan sekolah Hari Sabtu, kemungkinan menghapus, menambah kegiatan ko dan ekstrakurikuler, dan sebainya. Sebaliknya ada pula yang belum apa-apa sudah angkat tangan. Seperti komentar/usulan nomor sepuluh. Sabar …. Jika kita memperoleh masukan yang seperti ini. Sesuai dengan teori penelitian, hasilnya akan menghasilkan kurva normal. Yang sangat bagus hanyalah sedikit saja. Yang sangat negatif juga hasilnya hanyalah sedikit saja. Sekali lagi, kurva nurmalah jadinya. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan yang harus diambil haruslah diambil dan diputuskan secara bijak. Itulah sebabnya diperlukan kajian dan uji coba sebelum dilaksanakan.
Kerja sama kemitraan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah
Pelaksanaan kebijakan FDS memang harus dikaji secara mendalam. Misalnya untuk menentukan kebijakan FDS yang akan dapat diterapkan di mana saja. Untuk itu, Pemerintah Daerah harus menjalik kerja sama kemitraan dengan masyarakat, misalnya untuk mengadakan survey terhadap daerah-daerah yang dapat menerapkan kebijakan FDS. Inilah keanekaragaman yang benar-benar terjadi di republik ini. Memang, perbedaan di negeri ini adalah satu keniscayaan. Pemerintah dan pemerintah daerah harus dapat menjalin kerja sama kemitraan dengan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah untuk menentukan sekolah mana yang dapat menerapkan kebijakan FDS. Kebijakan FDS tidak dapat dipaksakan. Biarlah Pemerintah Daerah bersama masyarakat yang diwakili oleh Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah secara demokratis dapat menerapkan kebijakan tersebut. Sejak awal Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah seyogyanya dapat menerapkan kebijakan tentang pendidikan di daerah dan sekolahnya dengan tiga prinsip, yakni demokratis, transparan, dan akuntabel. Demokratis dalam arti melibatkan semua warga pendidikan. Transparan dalam arti diketahui oleh warga masyarakat, dan akuntabel dalam arti dapat dipertanggungjawabkan di hadapan publik. Wallahu alam bishawab.
Depok, 9 Agustustus 2016.