Oleh: Suparlan *)
Rasanya memang pahit. Tapi katakanlah yang benar itu benar, dan yang salah itu salah, meski pahit sekalipun. Entah sudah berapa minggu lalu, saya menulis dengan tajuk Garuda Pancasila. Momentumnya bertepatan dengan detik-detik proklamasi yang saya ikuti mulai dari peringatan tujuh belasan di RT sendiri sampai dengan peringatan tujuh belasan di Istana Negara yang konon banyak menampilkan atraksi budaya dengan memasukkan kereta kencana dari Purwakarta ke dalam acara peringatan tujuh belasan tersebut. Alhamdulillah, acara berjalan lancar dan berhasil, kecuali satu, yakni Gloria batal menjadi anggota Paskibraka. Karena kesabarannya, akhirnya Gloria memperoleh kesempatan menjadi anggota Paskibraka dalam acara penurun bendera.
Beberapa dukungan kepada Gloria
Tulisan singkat ini juga mempunyai momentum yang tepat terkait dengan kasus Gloria yang tidak jadi menjadi anggota Paskibraka, karena berkewargaan Perancis, meski ibunya asli .
maka Gloria akan menerimanya untuk bersabar. Karena satu ketentuan yang berlaku, yakni berkewargaan negara Indonesia. Sementara Gloria adalah memang seorang putri dari ayah bernama Didier berkebangsaan Perancis. Tapi ibunya adalah Ira Natapraja berkewarganegaraan Indonesia asal Subang. Tapi Gloria menyatakan dirinya adalah sebagai anak Indonesia. Wallahu alam.
Pembela Gloria
Selain Kak Seto, ternyata banyak kalangan telah membela Goria. Dalam hal ini Jupe membela Gloria secara hukum yang menyatakan bahwa “anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia, dari ayah atau ibu yang memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan sendirinya berkewarganegaraan Republik Indonesia. (Ps 21 ayat (1) UU No. 12/2006). Anak ini pantas mendapatkan haknya sebagai WNI. Demikian tulis Jupe di akun Instagramnya, Selasa (16/8). Tapi toh akhirnya Gloria dicoret dari daftar anggota Paskibra di Istana. Gloria menerima keputusan ini dengan sabar. Oleh karena itu Allah menggantikan keputusan itu dengan ketentuan yang insyaallah tidak kalah, minimal sama, dengan ketentuan sebelumnya, yakni Gloria menjadi anggota Paskibraka untuk penurunan bendera sore harinya. Alhamdulillah Gloria.
Kuis Satu Kata Pancasila (KSKP), perlukah?
Terkait dengan kasus Gloria, dalam Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa negara Indonesia memiliki lambang Garuda Pancasila serta semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Mudah-mudahan Gloria sendiri memahami makna Garuda Pancasila dan Lambang Negara Bhinneka Tunggal Ika. Mudah-mudahan kasus Gloria dapat menjadi pelajaran bagi semua anak bangsa. Panitia pemilihan anggota Paskibra mungkin perlu mengikuti KUIS SATU KATA PANCASILA (KSKP) yang perlu disusun oleh satu tim dari berbagai kalangan. Kuis itu misalnya berisi pertanyaan atau kuris dengan hanya menjawab dengan satu kata atau frasa. Kuis ini masih berkenaan tentang pengetahuan. Sebaiknya berkenaan dengan sikap, misalnya:
Tabel 1: Kuis Satu Kata Pancasila (KSKP)
No. | Kuis | Jawaban satu kata/frasa |
1 | Bhinneka Tunggal Ika berasal dari Bahasa apa? | Sansekerta |
2 | Apa arti panca ? | Lima |
3 | Bhinneka (Bhinna dan Ika), apa arti bhinna? | Pecah atau berbeda |
4 | Apa arti Tunggal? | Satu |
5 | Apa arti Ika? | Itu |
6 | Kata Bhinneka Tunggal Ika terdapat di mana dalam lambang Garuda Pancasila? | Pita berwarna putih |
7 | Garuda Pancasila menoleh ke kanan, apa artinya? | Jalan |
8. | Gambar apa yang menunjukkan letak Indonesia dilalui oleh garis khatulistiwa? | Garis hitam melintang dalam perisai |
9 | Lambang rantai menunjukkan sila apa atau keberapa? | Sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab. |
10 | Rantai tersebut berbentuk kotak dan lingkaran. Apa maknanya? | Laki-laki dan perempuan |
Demikianlah contoh Kuis Satu Kata Pancasila tersebut. Saya mohon para pembaca memberikan pendapat Anda, apakah Kuis Satu Kata tersebut perlu ditanyakan? Kuis tersebut dapat disusun dalam jumlah tertentu, misalnya sepuluh, dua puluh, sampai dengan ratuan kuis, dan sebenarnya dapa disusun dan disebarluaskan kepada masyarakat.
Kesalahan dalam Buku Mengobarkan Kembali Api Pancasila
Terkait dengan perlunya KSKP (Kuis Satu Kata Pancasila) tersebut, sebenarnya penulis punya pengalaman yang aneh. Mungkin pembaca meragukan tentang apa yang saya tulis ini. Biarlah ha ini akan terus saya tulis. Katakanlah yang benar itu benar, dan salah itu salah, meski terasa pahit. Pengalaman itu saya peroleh dari buku berikut:
1 | Judul buku | : | Mengobarkan Kembali Api Pancasila |
2 | Pengarang | : | Sayidiman Suryohadiprodjo |
Lulusan Akademi Militer Ri di Yogyakarta, 1948. Memulai karier sebagai Komandan Peleton di Devidi Siliwangi. Sebagai salah seorang prajurit TNI AD paling senior, ia sempat ikut terlibat dalam perang kemerdekaan (1945 – 1949) dan berbagai operasi penumpasan pemberontakan, termasuk pemberontakan Darul Islam, PRRI Permesta, dan Gestapu PKI. Pada 1974, Sayidiman menjadi Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) sebelum diangat menjadi Duta Besar RI di Jepang pada 1979. Sejak tahun 2012 sampai sekarang ia menjabat Ketua Dewan Pertimbangan Pusat Legiun Veteran RI. | |||
3 | Penerbit | : | Penerbit Kompas
Jalan Palmerah Selatan 26 -28 Jakarta 10270 E-mail: buku@kompas.com. |
4 | Tahun terbit | : | 2014 |
5 | ISBN | : | 978-709-709-870-4 |
Buku tersebut menarik perhatian saya karena berjudul “mengobarkan api Pancasila.” Sebagai perkenalan, saya adalah guru SPG (Sekolah Pendidikan Guru) sejak tahun 1974, dan kemudian dipindahkan ke Sekretariat Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional, nama sebelum diubah menjadai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Perkenalan lebih lanjut, mohon dapat membuka laman pribadi www.suparlan.com dan portal MASDIK.com.
Dalam tulisan pendek ini perkenankan saya mengutip satu paragraf dalam buku tersebut untuk tentu saja direvisi, karena menurut saya mengandung kesalahan besar, setelah saya bandingkan dengan sumber-sumber referensi yang saya peroleh. Mungkin saja, kesalahannya bukan secara sengaja dari penulis, tetapi mungkin saja dari pembantu penulisnya atau mungkin pula dari percetakan. Saya tidak hendak menyalahkan penulisnya karena nama besar penulis, yang tulisannya saya baca di berbagai media massa. Paragraf tersebut terlulis dalam satu bab berjudul Pluraisme Sebagai Kekayaan Bangsa, pada halaman 179 – 184. Tepatnya tertulis pada halaman 181 sebagai berikut:
Namun, Republik Indonesia kemudian membuat kelalaian dalam perjuangannya. Kelalaian pertama adalah ketika para pemimpinnya terlalu mengutamakan Ika dan mengabaikan Bhinneka, Sikap itu menghasilkan sentralisme yang mengutamakan kepentingan pemerintah pusat dan mengabaikan pluralism daerah. Hal ini telah menimbulkan banyak persoalan dan merugikan bagi RI. Di masa depan hal demikian tak boleh terulang karena akan memperkuat usaha pihak-pihak yang hendak mengakhiri riwayat NKRI.
Kesalahan tersebut memang kecil. Namun menyangkut kesalahan substansial, yakni kesalahan memberi makna IKA sebagai SATU. Padahal yang maknanya SATU itu adalah TUNGGAL. Bhinneka Tunggal Ika secara etimologis berasal dari kata BHINNA dan IKA = pecah atau berbeda dan ITU. TUNGGAL = SATU dan IKA = ITU. Perlu diketahui, kata IKA artinya ITU, yang dalam Bahasa Jawa artinya IKU. Secara lengkap, kalimat BHINNEKA TUNGGAL IKA artinya PECAH atau BERBEDA ITU, SATU ITU.
Demikianlah, mohon perkenan untuk ditelaah kembali, dan saya berharap kesalahan tersebut dapat didiskusikan lebih lanjut, baik secara langsung maupun melalui media sosial yang ada. Dalam hal ini, kepada Penerbit Kompas, saya menawarkan satu buku yang sudah lama saya tulis bertajuk PENDIDIKAN MULTIKULTURAL.Terima kasih, mohon maaf jika ada salah-salah kata dan ketik serta ungkapan.
Depok, 18 Agustus 2016.