Era Food Gathering (Pengumpulan Bahan Makan)

0
1401

Oleh: Suparlan *) 

  1. Dalam buku bertajuk “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa: Dari Konsepsi Sampai Dengan Implementasi” dijelaskan tentang empat era kehidupan manusia: (1) Era Food Gathering (mengumpulkan bahan pangan), (2) Green Revolution (revolusi hijau), (3) Industrial Revolution (revolusi industri), dan (4) Teknologi Informasi dan Kemunikasi. Tulisan singkat ini akan menjelaskan tentang era food gathering
  1. Apa itu Era Food Gathering? Secara singkat dapat dijelaskan bahwa kehidupan manusia sejak masa Adam sampai saat ini dapat dibagi ke dalam empat era atau zaman seperti tersebut di atas. Salah satu era adalah Food Gathering atau Pengumpulan Bahan Makanan. Pak Wardi, sopir bus jemputan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bercerita tentang kehidupan di masa kecil, telah menggambarkan masa-masa akhir era kehidupan manusia tersebut contoh era pengumpulan bahan makanan (food gathering). Inilah sekilas gambaran keadaaan alam dan kehidupan mania lima puluhan tahun lalu (1980-an) kawasan Citayam, Kota Depok (daerah elit pemukiman orang kota). Keadaan alam dan sosial kehidupan manusia masih di dalam era food gathering yang kira-kira yang beberapa aspek dapat memberikan contoh kecil tentang kehidupan manusia pada era tersebut. Tulisan ini merupakan rekaman cerita kehidupan di daerah Citayam, yakni satu kawasan Kota Depok bagian selatan. Boleh jadi keadaan alam dan kehidupan di daerah lain, misalnya di daerah tertentu, seperti Desa Tawing, Kecamatan Munjungan, Kabupaten Trenggalek berbeda. Hal itu dapat dimaklumi karena hal tersebut menunjukkan keanekaragaman bentangan alam (natural landscape) dan bentangan sosial budaya (social and cultural landscatpe) yang memang berbeda dan beraneka rakam yang telah diciptakan oleh Yang Maha Pencipta. Keanekaragaman tersebut memang dikehendaki oleh Allah SWT sebagai sunatullah, termasuk keanekaragaman manusianya. Untuk apa diciptakan berbeda-beda? Agar saling bekerja sama.
  1. Dicertakan oleh Pak Wardi bahwa kawasan Citayam pada saat itu masih seperti di kawasan Puncak pada saat ini. Udara masih dingin, cuaca masih berembun. Kalau kita bernafas, masih mengeluarkan uap dingin dari mulut. Tanah dan kebun-kebun Pak Haji masih luas. Pohon-pohon pepaya masih tumbuh subur dengan buah-buahnya yang besar-besar dan bergelantungan sampai dekat sekali dengan permukaan tanah. Pak Haji masih menaruh beberapa buah pepaya yang sudah setengah masak untuk ditaruh di pematang kebunnya untuk diambil oleh siapa pun yang memerlukan. Tidak perlu membeli buah pepaya seperti saat ini. Pak Wardi masih mengalami kondisi seperti itu. Pada saat itu, manusia memang belum harus menanam sendiri bahan makanan yang dibutuhkan. Seakan manusia hanya perlu mengumpulkan bahan makanan. Kalau habis bahan makanan di tempat yang satu, kita hanya perlu mencari di tempat lainnya. Untuk memberikan keaslian kehidupan manusia yang hanya mengumpulkan bahan makanan di daerah Citayam saat itu, Pak Wardi juga memberikan contoh tentang tanaman salak di kampung Citayam pada saat itu. Buah salak ketika itu tidak sama dengan buah salak seperti salak pondoh misalnya. Buah salak ketika itu masih berasa sepat, dan akan menjadi manis jika memang benar-benar sudah benar-benar tua dan masak. Nah, inilah seleksi alam yang sungguh-sungguh bersifat alami. Bukan seperti sekarang. Buah pepaya yang ditanam di sumah anak saya di Bogor dipaksa diunduh belum waktunya, dan menjadi matang dan manis dengan cara paksaan, yakni harus dibungkus dengan kertas koran agar menjadi cepat matang dan berwarna kuning oleh pembantu saya yang ternyata telah mengetahui caranya.
  1. Ada gambaran lain yang benar-benar menyentuh hati sebagaimana diceritakan oleh Pak Wardi. Ketika bermain-main dengan kakaknya di sungai kecil di daerah itu, air sungainya masih sangat bersih, Pak Wardi masih dapat meminum air sungai tersebut, bahkan air sawahnya, hanya dengan meraup air dengan kedua tangannya dan diminumnya dengan segar. Pak Wardi juga masih dapat melihat banyak “ikan benter atau akan sepat” yang berenang beriringan dalam air yang jernih tersebut. Ikan-ikan benter itupun dapat ditangkap atau dengan menggunakan dengan seekor cacing yang ditalikan pada tali dari gedebok pisang. Hasil ikan benter yang ditangkap dan dikumpulkan dalam sebuah rantang kemudian digoreng dan kita makan dengan sedapnya. Demikian juga dengan hasil tanggapan udang-udang yang cukup besar kemudian digoreng bersama kakaknya. Sangatlah sedapnya.
  1. Sayang beberapa contoh yang lain untuk dapat diceritakan dalam tulisan ini tidak cukup waktu lagi diceritakan, karena bus jemputan Kemdikbud sudah masuk jalan Panglima Sudirman Jakarta, dan sebentar lagi akan masuk pintu gerbangnya. Semua penumpang, termasuk penulis cerita ini harus siap-siap turun di depan kantornya masing-masing. Tapi, cerita tersebut memang hanyalah sebagai salah satu contoh untuk menggambarkan kondisi Era Food Gathering dalam kehidupan manusia.
  1. Sungguh, tidak dapat dibayangkan jika kondisi bentang alam dan bentang budaya itu masih kita alami pada saat ini? Air minum yang kita teguk setiap hari belum tentu bukanlah air yang bersih seperti yang diceritakan oleh Pak Wardi. Sebaliknya air yang kita minum adalah buatan pabrik yang belum tentu bersih, karena berbagai alasan. Bahkan ketika suatu saat Pak Wardi mencoba mencari ikan “benter atau sepat” dan mencari udang di sungai kecil, Pak Wardi memang masih melihat beberapa ikan dan udang yang minggir di sungai tersebut, tapi ikan dan udang tersebut sudah sempoyongan karena mabuk oleh obat-obatan yang disebar di sungai tersebut. Ternyata ikan-ikan dan udang-udang kecil tersebut tenyata juga terkena sudah terkena “narkoba” seperti telah dilakukan oleh tokoh terkenal Si Brajamusti.
  1. Era food gathering memang sudah berakhir. Bahkan sudah lama era tersebut berganti dengan era berikutnya, yakni era Green Revolution atau era revolusi hijau, yakni era manusia harus menanam tanaman agar tumbuhan yang ditanamnya dapat menyediakan buah-buahan jauh lebih banyak dan lebih banyak lagi, untuk dapat memenuhi kebutuhan manusia yang semakin banyak karena pertumbuhan jumlah penduduk menurut teori Malthus bukan menurut deret hitung tetapi dengan deret ukur. Wallahu alam.

Jakarta, 9 Oktober 2016.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.