Oleh: Suparlan *)
Dalam buku FIFTY YEARS OF DEVELOPMENT OF INDONESIAN EDUCATION, yang disusun oleh Mendikbud Wardiman Djojonegoro, pada saat itu Mendikbud sesungguhnya telah melaporkan Perkembangan Pendidikan Indonesia selama 25 tahun, sejak 1945 – 1968/1969. Laporan perkembangan pendidikan tersebut sungguh lengkap, meliputi tiga periode perkembangan pendidikan.
PERTAMA, sejak awal kemerdekaan NKRI tanggal 17 Agustus 1945 kelahiran kurikulum pertama di negeri tercinta yang dikenal dengan LEER PLAN 1947 atau RENCANA PELAJARAN 1947 sampai dengan penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan kebijakan dan program sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikannya.
KEDUA, sejak penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikannya, upaya untuk melahirkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950, dan lika-liku pelaksanaan sistem pendidikan nasional pertama tersebut sampai dengan pelaksanaan program dan kegiatan pada tahun ajaran 1968/1969.
KETIGA, Pemerintah mulai melaksanakan Program Pembanguan Janga Panjang I (PJP I: 1969/1970 – 1993/1994. Periode ini dikenal sebagai “the golden age of educational development” di negeri ini. Periode ini diibaratkan sama dengan periode taman kanak-kanak atau prasekolah. Dalam periode ini Pemerintah masih mengutamakan akses atau pemerataan pendidikan. Periode ini pun masih merupakan proses untuk mengawali program pemerataan pendidikan, terutama pendidikan dasar. Kebijakan dan program peningkatan mutu pendidikan belum disebutkan secara eksplisit sebagai kebijakan dan program secara dominan.
Pada periode ini, jumlah sekolah SD (dahulu disebut SR) mengalami kenaikan sepuluh kali lipat, dari 17.848 pada tahun 1940 menjadi 173.700 pada tahun 1994/1995, dengan APM (angka partisipasi murni) 93,5%. Jumlah sekolah SMP naik dari 156 pada tahun 1940 menjadi 27.600 pada tahun 1994/1995 dengan APM 56,4% . Sedang jumlah SMA meningkat 537 kali dari 27 pada tahun 1940 menjadi 79 pada tahun 1945, dan 14.500 pada tahun 1994/1995 dengan APM 36.0%.
Pada periode ini, Indonesia berhasil memperluas kesempatan belajar bagi anak-anak bangsa, sekaligus upaya meningkatkan efisiensi, kualitas, dan relevansi pendidikan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan nasional.
Dalam periode KETIGA inilah Wardiman Djojonegoro melairkan PROGRAM LINK AND MATCH atau program HUBUNG DAN KAIT antara PENDIDIKAN DENGAN DUDI (DUNIA USAHA DAN DUNIA INDUSTRI) untuk meningkatkan kualifikasi SUMBER DAYA MANUSIA INDONESIA dalam menghadapi ERA GLOBALISASI DAN KEBUTUHAN TENAGA KERJA UNTUK INDUSTRI MASA DEPAN.
PROGRAM LINK AND MATCH atau dalam Bahasa Indonesia kita sebut saja dengan PROGRAM HUBUNG DAN KAIT ANTARA PENDIDIKAN (KHUSUSNYA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN) dengan DUDI (DUNIA USAHA DAN DUNIA INDUSTRI). Periksa tulisan sebelumnya berjudul PEMERINTAH HARUS MENGGANDENG DUDI (DUNIA USAHA DAN DUNIA INDUSTRI). Dengan demikian, Inpres Nomor 6 Tahun 2016 tentang LINK AND MATCH yang digagas dan telah dilaksanakan oleh Mendikbud Wardiman Djojonegoro sebenarnya ibarat DIBANGUNKAN KEMBALI oleh Presiden Jokowi. Alhamdulillah.
Ingat, PROGRAM LINK AND MATCH tidak berjalan sendirian.
Sebagaimana kita ketahui, TUJUAN PENDIDIKAN yang dilahirkan oleh Benjamin S. Bloom merupakan satu kesatuan dari TIGA RANAH PENDIDIKAN. TIGA RANAH TUJUAN adalah: (1) RANAH KOGNITIF atau pengetahuan, (2) RANAH AFEKTIF stau sikap, dan (3) RANAH PSIKOMOTOR atau ranah keterampilan atau kecakapan. Program LINK AND MATCH mengedepankan RANAH KETERAMPILAN, yang oleh Wardiman Djojonegoro disebut LIFE SKILLS. Oleh karena itu, program LINK AND MATCH harus didukung oleh program yang dapat meningkatkan daya pikir siswa. “Berfikir kritis bagi guru dan siswa SMA sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi.” Demikian tegas Mustaghfirin Amin, Direktur Pembinaan SMK. Dalam hal ini, HOTS (higher thinking skills) sudah menjadi kebutuhan lulusan SMK. Apakah hanya cukup itu? Tentu tidak. Program yang sangat diperlukan adalah PENDIDIKAN KARAKTER DAN KARAKTER MULIA. Bagaimana pun juga, selain memiliki bidang keahliannya, lulusan SMK harus memiliki delapan belar pilar-pilar nilai pendidikan karakter sebagaimana yang disebutkan oleh PUSKUR. Setinggi apa pun kemampuan otak siswa SMK, dan sekuat apa pun keterampilannya, yang sangat diperlukan adalah lulusan SMK yang JUJUR.
Secara akademis, yang diperlukan adalah lulusan SMK, yang bukan hanya kompetensi sesuai bidang keahlian yang diperlukan oleh DUDI. Yang diperlukan adalah unjuk kerja atau performansi, karena COMPETENCE baru bersifat KNOWING, tapi PERFORMANCE sudah bersifat DOING.
Referensi:
Djojonegoro, Wardiman. Fifty Years Development of Indonesian Education, Jakarta: Ministry of Education and Culture.
SMK Bisa Hebat, Edisi Gratis.
masdik.com.