SURABAYA – Para guru khawatir peralihan kewenangan SMA/SMK ke pemerintah provinsi (pemprov) berimbas pada penghasilan per bulan berkurang.
Sebab, selama ini mereka mendapat tambahan penghasilan Rp 500 ribu dari APBD Surabaya.
Hal tersebut diungkapkan anggota Komisi D DPRD Surabaya Reni Astuti. Dia mengatakan, selama ini guru PNS di Surabaya mendapat tunjangan kinerja Rp 300 ribu per bulan.
Selain itu, mereka mendapat uang makan Rp 5 ribu per hari.
"Semuanya diambilkan dari APBD Kota Surabaya," katanya.
Tenaga outsourcing seperti tenaga kebersihan dan tenaga keamanan juga digaji melalui APBD. Di setiap SMA/SMK, rata-rata ada empat tenaga outsourcing.
Di Surabaya, ada 22 SMAN dan 10 SMKN. Dengan begitu, jumlah tenaga outsourcing mencapai 128 orang.
Belum lagi jumlah guru tidak tetap dan pegawai tidak tetap yang jumlahnya mencapai 500 orang.
Reni berharap fasilitas yang sudah diterima itu tidak berubah meski SMA/SMK dikelola provinsi.
"Sebab, berkaitan dengan urusan keluarga mereka," tuturnya.
Semestinya, jika dikelola pemprov, semua urusan itu juga ditangani pemerintah terkait. "Intinya, peralihan jangan sampai merugikan, kesejahteraan juga jangan berkurang," katanya.
Menurut dia, idealnya pemprov menganggarkan pendidikan gratis seperti yang selama ini sudah dimanfaatkan warga Surabaya.
Kalau ada kendala terkait dengan keterbatasan anggaran provinsi, pihaknya setuju jika pemkot ikut membiayai pendidikan SMA/SMK meski sudah menjadi kewenangan provinsi.
Dengan catatan, peraturan perundang-undangan memperbolehkan.
"Ini supaya sekolah gratis tetap berlanjut di Surabaya," terangnya.
Karena itu, pemprov maupun pemkot perlu duduk bersama untuk membicarakan solusi dan saling berkoordinasi.
Reni mengatakan, hal itu harus segera dilakukan karena akhir tahun ini merupakan tahap penganggaran untuk APBD 2017.
Ketua Dewan Pendidikan Surabaya Martadi mengatakan, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini memang sudah mengirimkan surat edaran kepada masyarakat.
Isinya memberitahukan bahwa per 2 Oktober 2016, SMA/SMK sudah menjadi kewenangan provinsi.
Pemberitahuan itu juga berkorelasi dengan informasi tentang pembiayaan SMA/SMK. Pembiayaan SMA/SMK memang bisa bergantung pada kebijakan wali kota.
"Tapi, peraturannya memperbolehkan atau tidak karena kewenangan sudah beralih. Kejaksaan bisa menganggap itu sebagai sebuah temuan," tuturnya.
Karena itu, butuh prinsip kehati-hatian. Payung hukum terkait dengan hal tersebut harus dicari terlebih dahulu.
"Payung hukumnya ada atau tidak karena tiap rupiah yang digunakan harus bisa dipertanggungjawabkan, harus ada regulasinya," katanya.
Kekhawatiran juga muncul sehubungan dengan pencairan biaya operasional daerah (bopda). Sebab, per 2 Oktober, SMA/SMK bukan kewenangan pemkot.
Martadi mengatakan, selama ini bopda digunakan untuk membayar gaji tenaga honorer dan biaya operasional lainnya.
Total ada sekitar seribu tenaga honorer di SMA/SMK. Karena itu, pihaknya mendesak pemprov dan pemkot agar segera duduk bersama untuk menemukan solusi permasalahan pelimpahan SMA/SMK tersebut.(puj/rst/c7/dos/flo/jpnn)
Selengkapnya: www.jpnn.com