Oleh: Suparlan *)
Republika tanggal 11 Oktober 2016 mengingatkan kepada kita semua bahwa “pemuda kurang bangga terhadap Bahasa Indonesia.” Miris juga mendengarnya. Pernyataan ini disampaikan oleh Prof. E. Aminudin Azis, Atase Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia di London dalam acara diskusi Indonesia Kontemporer (Ikon) di School of Oriental and African Studies (SOAS) University of London, Inggris, pekan lalu. Acara diskusi tersebut telah dilaksanakan enam kali sejak tahun 2011. University of London adalah universitas terbesar di Inggris yang memiliki kajian Indonesia dan Melayu. Pada tahun ini, tema yang diusung dalam diskusi tersebut adalah “How the world is inspired by the Indonesian art and culture.”
Penghargaan yang rendah kepada Bahasa Indonesia
Rendahnya kebanggaan anak-anak bangsa terhadap Bahasa Indonesia ini sudah barang tentu terkait dengan kebanggaan terhadap tiga aspek Bhinneka Tunggal Ika, karena ketiga aspek tersebut memang saling terkait. Berdasarkan pertanyaan langsung yang diajukan kepada mahasiswa, bahkan kata Bhinneka Tunggal Ika jarang dikuasai secara total tentang makna secara utuh, terutama makna berdasarkan asal usul katanya dari Bahasa Sangsekerta. Ketika mereka ditanya tentang arti Bhinneka Tunggal Ika, misalnya kata manakah yang artinya SATU? Kebanyakan mereka akan menjawab IKA. Padahal kata dalam Bhinneka Tunggal Ika yang artinya SATU adalah TUNGGAL. Artinya, kebanyakan mahasiswa akan menjawab makna IKA adalah SATU. Padahal, yang artinya SATU adalah TUNGGAL. Itulah sebabnya, maka ketika bangsa ini sedang mengingat kembali HARI BHINNEKA TUNGGAL IKA, kita perlu memahami makna yang sebenarnya tentang semboyan yang tertuang dalam BHINNEKA TUNGGAL IKA. Sebagaimana kita fahami, semboyan BHINNEKA TUNGGAL IKA sama persis artinya dengan semboyan yang dimiliki negara adikuasa Amerika Serikat, yakni UNITY IN DIVERSITY, yakni PERSATUAN DALAM PERBEDAAN, atau dalam SEMBOYAN DALAM PITA YANG DIPEGANG ERAT OLEH CAKAR GARUDA PANCASILA, yakni BHINNEKA TUNGGAL IKA. Tiga aspek Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyan NKRI adalah kesatuan tanah air, kesatuan bangsa, dan menjunjung bahasa persatuan INDONESIA. Ketiga aspek tersebut adalah semboyan yang tertulis dalam pita putih yang dipegang erat oleh cakar garuda.
Mengingat kembali Hari Bhinneka Tunggak Ika
Tanggal 28 Oktober 1928 adalah Hari Bhinneka Tunggal Ika. Kita tidak boleh melupakannya. Para pemuda telah mengikrarkan Sumpah Pemuda sebagai berikut:
Pertama:
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea:
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga:
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
(Penulisan menggunakan ejaan van Ophuysen).
Mendekati datangnya bulan Oktober 2016 ini, Mendikbud Muhadjir Effendy mengingatkan tentang kehadiran hari Bahasa Indonesia. Kemdikbud akan menyambutnya dengan menerbitkan KBBI Edisi V, yakni salah satu bentuk penghormatan kita kepada Bahasa Indonesia.
Kita semua harus menghargai Bahasa Indonesia. Hal tersebut memang benar adanya. Namun Bahasa Indonesia hanyalah satu aspek yang harus junjung tinggi, selain dua aspek yang lain, yakni TANAH AIR, BANGSA, dan yang terakhir adalah MENJUNJUNG TINGGI BAHASA INDONESIA. Oleh karena itu penulis mencoba mengingatkan kepada kita semua tentang perlunya menjunjung tinggi Bahasa Indonesia, bukan hanya dari aspek bahasanya, tetapi juga dengan menjunjung hari BHINNEKA TUNGGAL IKA, dengan penuh kasadaran dan keyakinan bahwa Bhinneka Tunggal Ika harus kita junjung tinggi, bukan hanya dalam teori tetapi juga dengan implementasi. Menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, peringatan Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI di London memang harus kita perhatikan, memperoleh perhatian serius.
Selain kurang menghargai Bahasa Indonesia, pada umumnya kita juga kurang memperhatikan kaidah penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sebagai contoh dalam penggunaan ‘dari’ dan ‘dari pada’ yang sering digunakan dengan tidak mengikuti kaidah yang baik dan benar. Jika pembaca naik pesawat Garuda, kita akan mendengarkan pilot yang menjelaskan bahwa Garuda sebagai anggota ‘dari’ sky team, karena diterjemahkan dari Garuda is the member of sky team. Bahkan pada era Orde Baru, kita mungkin sering mengucapkan pidato: ‘tujuan ‘dari pada’ pembangunan.’ Penghargaan kepada Bahasa Indonesia dewasa ini terutama terkait dengan penggunaan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Ketika membaca advertensi yang di pasang di pagar dengan kalimat ‘RUMAH INI DI JUAL (awalan di dipisahkan dengan spasi, padahal seharusnya tidak. ’ Pedulikah kita terhadap advertensi itu? Jika pembaca peduli dengan berusaha mengubahnya menjadi ‘RUMAH INI DIJUAL,’ maka artinya pembaca sudah menghargai Bahasa Indonesia. Penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar tersebut adalah sebagian kecil dalam penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dengan demikian, menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar merupakan bentuk penghargaan kita kepada Bahasa Indonesia.
Penghargaan kepada Tanah Air dan Bangsa
Hal tersebut masih dalam bidang Bahasa Indonesia. Belum lagi dengan penghargaan kita terhadap kesatuan tanah air dan bangsa. Membuat resapan di tanah terbuka yang kita miliki adalah satu bentuk penghargaan kepada tanah air, karena tanpa membuat resapan dengan baik, sesungguhnya kita telah merusak tanah air itu sendiri. Tanah air akan diterjang banjir, dan berbagai kerusakan lainnya, seperti tanah longsor, dan kerusakan tanah air lainnya.
Belum lagi dengan penghargaan kita kepada bangsa yang memang beraneka ragam. Kita harus menyadari dan menghayati bahwa keanekaragaman adalah sunatullah (ketentuan dari Allah SWT). Keanekaragaman adalah satu keniscayaan. Persatuan dan kesatuan sebagai bangsa harus mendapatkan perhatian dalam kehidupan. Oleh karena itu, bentrok dan tawuran antar warga haruslah kita hindarkan, karena semua itu hanya akan mendatangkan malapetaka yang akan mendatangkan kehancuran bangsa dan negara. Sama dengan sistem nilai kejujuran yang hilang, sama dengan hilangnya tiga nilai sumpah pemuda, hanya akan menghacurkan bangsa dan negara. Kesimpulannya, kita perlu memiliki HARI BHINNEKA TUNGGAL IKA. Tentu saja bukan hanya tahu maknanya, tapi mengamalkannya. Coba pembaca cek 45 butir pengamalan Pancasila. Ternyata tidak terdapat kata ‘JUJUR.’ Dapatkah kita menjadi bangsa yang jujur, jika butir pengamalannya saja kita lupa menuangkannya dalam butir-butir pengamalan Pancasila.
Depok, 11 Oktober 2016