Oleh Suparlan *)
Orang yang cerdas ialah orang yang takwa. Orang yang dungu ialah orang yang durhaka. Orang yang dusta ialah orang yang khianat. Orang yang benar ialah orang yang dipercaya (Khalifah Abu Bakar RA)
Salah satu nilai tertinggi ibadah puasa ialah pembebasan manusia dari ketergantungan dunia materi
(Abdul Munir Mulkan).
Apa yang kita fahami dari kata “minal aidin wal faizin”? Pastilah kita fahami bahwa ungkapan itu adalah mohon maf lahir dan batin. Saya kita pemahaman ini sangat umum terjadi bagi banyak orang Indonesia, mulai dari para pembesar dan cerdik pandai di tingkat nasional sampai dengan tokoh masyarakat dan orang-orang terpelajar di tingkat RT/RW. Oleh karena itu, ungkapan yang banyak diucapkan dalam bulan Ramadan adalah ”Selamat Idul Fitri”, kemudian dilanjutkan dengan ”minal aidin wal faizin” dan kemudian seakan-akan dibahasaindonesiakan menjadi ”mohon maaf lahir batin”.
Kapankah kebiasaan tersebut dimulai di negeri ini? Wallahu alam bishawab. Mungkin saja sudah puluhan, atau bahkan ratusan tahun ungkapan dan ucapan seperti itu menjadi tradisi turun temurun dalam kehidupan. Tanpa kita. Ungkapan ini telah menjadi samacam tradisi tanpa kritisi atau bahkan menjadi adat tanpa ada debat. Hal ini terjadi karena Bahasa Arab belum menjadi bahasa kedua di negeri ini. Paling tidak untuk pemeluk Islam. Pemahaman kita terhadap Bahasa Arab adalah pemahaman taklid atau meniru buta, tanpa pemahaman yang rasional. Bukankah pendekatan agama kita konon berawal dari percaya terlebih dahulu, bukan dari ketidakpercayaan sebagaimana pendekatan ilmu pengetahuan. Tulisan ini mencoba akan merekam perjalanan pemahaman kita tentang ucapan “minal aidin wal faizin” sampai dengan “taqabalallahu minna wa minkum”.
Minal aidin wal faizin
Ungkapan ini sebenarnya hanya berupa sebuah frase atau bagian dari sebuah kalimat yang lebih panjang. Jadi, bukan kalimat yang lengkap SPO-nya atau subyek/predikat/obyeknya. Secara lengkap, kalimatnya adalah ”Ja alanallahu wa iyyakum minal aidzin wal faidzin” yang artinya “semoga Allah menjadikan kami dan anda sebagai orang-orang yang kembali dan beruntung”. Jadi, minal aidin wal faizin sendiri berarti dari orang-orang yang kembali dan beruntung. Dengan demikian, frase itu minal aidin wal faizin tidak memiliki makna sama sekali dengan ungkapan permintaan maaf atau pun bermaaf-maafan. Bahkan dalam Bahasa Indonesia ungkapan “bermaaf-maafan” malah dinilai terlalu berlebih-lebihan atau mubazir, karena ungkapan “bermaafan” sudah cukup, karena ungakapan bermaafan sudah memiliki makna saling meminta maaf.
Dalam Bahasa Arab, ungkapan permintaan maaf biasanya dinyatakan dengan pernyataan “afwan” yang artinya permintaan maaf yang tulus dan ikhlas. Kalau kurang puas dengan kata “afwan” yang dinilai kurang panjang, maka bolehlah ditambah dengan “afwan zahir wal bathin”. Dalam hal maaf ini, perlu kita sadari bahwa ternyata memberi maaf mempunyai nilai yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan meminta maaf itu sendiri. Berikut ini ada sebuah kisah yang penulis terima dari kegiatan pengajian di masjid sebagai berikut. Ketika Nabi sedang berdakwah, ada seseorang yang datang terlambat dalam acara dakwah itu. Pada saat itu, Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa seorang yang datang terlambat itu dinyatakan justru sebagai penghuni surga. Kontan saja, banyak sahabat dan hadirin yang telah lebih dahulu datang bertanya-tanyalah di dalam hati yang paling dalam tentang amalan apakah yang telah dilakukan orang tersebut sehingga dinyatakan sebagai penghuni surga. Setelah dakwah selesai, bahkan ada beberapa orang yang kemudian mencoba mencari tahu atau melakukan semacam “investigasi” dengan menginap di rumah orang tersebut. Singkat kata, beberapa orang yang menginap di rumah calon penghuni surga tersebut ternyata tidak dapat menemukan amalan yang dinilai patut menjadi indikator bahwa orang itu memang calon penghuni surga. Misalnya, orang itu ternyata tidak melakukan amalan shalat malam, tidak pula menjadi dermawan yang memberikan hartanya untuk menyantuni fakir miskin dan anak-anak yatim. Singkat cerita, setelah tidak menemukan satupun indikator sebagai penghuni surga, akhirnya setelah sekian hari melakukan pengamatan terhadap amalan sang penghuni surga tersebut, maka salah seorang pengamat terpaksa mengajukan pertanyaan tentang amalan apa yang selama ini telah menjadi amalan harian sang penghuni surga. Dari dialog dengan calon penghuni surga itu, amalan yang secara istiqamah beliau lakukan adalah “memberikan maaf yang selalu beliau ucapkan menjelang tidur”. Kisah ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa ternyata memberi maaf merupakan prestasi seseorang yang akan menjadi bekal utama sebagai penghuni surga. Bukan hanya meminta maaf kepada sesamanya.
Taqabbalallahu minna waminkum
Kalau demikian, apa ungkapan yang telah menjadi tuntunan Rasulullah semasa hidup beliau? Nabi Muhammad SAW ternyata telah memberikan tuntunan agar ketika tiba di bulan Ramadhan kita mengucapkan “taqabbalallahu minna waminkum“, yang artinya “semoga Allah menerima amalan aku dan kamu“. Kemudian menurut riwayat ucapan ini diberikan tambahkan oleh para sahabat dengan kata-kata “shiyamana wa shiyamakum“, yang artinya puasaku dan puasamu. Dengan demikian secara lengkap kalimat tersebut menjadi “taqabbalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum” yang artinnya “semoga Allah menerima amalan saya dan kamu, amalan puasa saya dan kamu“.
Meski sudah ada tuntunan yang secara dari Nabi Muhammad SAW, belum serta merta tuntunan itu akan segera dipraktikkan oleh umat, karena kebiasaan lama masih demikian melekat. Sebagai bagian dari faset kebudayaan, maka adat kebiasaan yang telah melekat akan mengalami perubahan melalui proses internalisasi yang cukup lama, mulai dari pengenalan, pemahaman, pembiasaan, sampai dengan pengamalan. Dengan demikian, jika kebiasaan itu memang dinilai tidak rasional lagi dan yang paling penting adalah karena kurang atau bahkan tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW, maka tidak akan serta merta kebiasaan itu akan berganti. To make one understand is the most difficult. Mengapa? Karena membuat orang lain mengerti adalah pekerjaan yang paling sulit.
Secara bertahap dewasa ini sudah mulai banyak orang yang telah menggunakan ungkapan yang diberikan tuntunan oleh Rasulullah. Atau setidaknya telah mulai digunakan kedua-duanya, seperti yang telah dilakukan oleh Prof. Dr. Quraish Shihab dalam acara Ramadan. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa yang justru masih banyak lagi adalah justru yang belum mengenal tuntunan Nabinya sendiri. Umat lebih suka menggunakan kebiasaan umum, yang sudah biasa digunakan, meski kebiasaan itu sama sekali tidak mempunyai landasan yang kuat untuk digunakan. Itulah kenyataannya. Itulah kondisi faktual pemahaman dan pengamalan agama Islam umat ini. Padahal tidak ada agama yang lebih tinggi selain Islam. Tetapi, karena pengalaman agamanya lebih karena kebiasaan belaka, tanpa pemahaman yang kuat, maka keimanan umat masih sangat jauh dari kuat. Kalaupun kuat, maka kekuatan keyakinan tersebut sebenarnya merupakan kekuatan sementara yang sifatnya emosional belaka, bukan keyakinan yang dilandasi oleh pemahaman yang mendalam, termasuk pemahaman kita tentang Bahasa Arab, yang memang belum menjadi bahasa kedua kita.
Akhir Kata
Ada orang yang mengatakan bahwa tugas wali songo untuk mengislamkan seluruh umat, khususnya umat Islam, memang belum tuntas. Jika sepeninggal Nabi Muhammad SAW, para sahabat Nabi secara kultural mempunyai tugas nubuwah meneruskan estafet Nabi Muhammad SAW, lalu siapa yang harus meneruskan tugas nubuwah itu setelah sahabat meninggalkan kita? Jawaban yang pasti akan tugas kita semua, tanpa terkecuali. Mudah-mudahan amal kita selama bulan Ramadan bernilai ibadah yang diterima Allah SWT, sehingga kita dapat mencapai prestasi sebagai umat yang bertaqwa. Amin.
Depok, 3 Oktober 2008