Oleh: Suparlan
ABSTRAK
Bejamin Samuel Bloom dikenal sebagai penggagas tiga ranah tujuan pendidikan (educa-tional objectives), meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor, yang dikenal sebagai taksonomi Bloom. Ketiga ranah tujuan pendidikan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu tujuan dengan tujuan yang lain. Dari ketiga tujuan pendidikan tersebut, tujuan pendidikan yang manakah yang benar (goal of true education? Itulah kira-kira pertanyaan yang diajukan oleh Martin Luther King Jr. Jawabannya dijelaskan sendiri dalam ungkapan kata-kata bijak sebagai berikut. Intelligence plus character – that is the goal of true education. Demikian pandangan Martin Luther King Jr. tentang tujuan pendidikan yang akan dicapai melalui proses pembelajaran.
Keywords: goal of education, intelligence, character, educational objectives.
PENDAHULUA
Intelligence plus character – that is the goal of true education. Itulah jawaban Martin Luther King Jr. terhadap pertanyaannya sendiri. “Kecerdasan plus karakter – itulah tujuan pendidikan yang benar.” Demikianlah pesan Martin Luther King Jr. kepada para aktivis pendidikan. Intelligence dan character merupakan bagian dari tiga ranah tujuan pendidikan yang disebutkan oleh penemunya, yakni Benjamin Samuel Bloom. Tiga ranah pendidikan tersebut adalah (1) cognitive domain, (2) affective domain, dan (3) psychomotor domain. Yang dimaksud karakter dalam ketiga ranah tersebut lebih dekat dengan ranah afektif, Sedang ranah kecerdasan lebih dekat dengan ranah kognitif. Kedua ranah tersebut memang dapat disebut sebagai dualistik yang sama-sama penting. Oleh karena itu benarlah yang disebutkan dalam pendidikan yang unggul sebagai pendidikan YANG CERDAS DAN BERKARAKTER. Supaya dapat dibaca oleh banyak pegawai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tulisan sekolah CERDAS DAN BERKARAKTER tersebut ditempelkan dengan sticker dalam badan BUS JEMPUTAN Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, agar tulisan itu dapat dibaca dan sekaligus ditularkan kepada para pegawai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia.
PEMBAHASAN
- CERDAS
Apakah tipe-tipe kecerdasan yang akan dicapai dalam dunia pendidikan? Cerdas memang memang dimaknai dengan bermacam-macam. Pintar adalah salah satunya. Sampai dengan lahirnya istilah Kartu Indonesia Pintar. Padahal dalam Pembukaan UUD 1945 sudah tertuang “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Namun makna cercas dalam hal ini harus dikaitkan dengan makna kecerdasan menurut Howard Gardner yang membedakannya menjadi sembilan tipe kecerdasan ganda (multiple intelligence) atau kecerdasan ganda. Ketika Malaysia meluncurkan program Sekolah Pintar (smart school) yang dikenal luas dengan Sekolah Bestari, maka pengertiannya adalah penggunaan teknologi informasi dan komunikasi menjadi indikatornya. Pengertian kecerdasan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kemampuan potensial yang dimiliki setiap manusia yang sifatnya unik. Setiap manusia memiliki potensi kecerdasan yang berbeda-beda. Potensi kecerdasan ibaratkan cap jadi tangan (finger print) yang berbeda-beda.
Berdasarkan konsep Howard Gardner kecerdasan meliputi 9 (sembilan) tipe yang dikenal dengan kecerdasan majemuk, atau MULTIPLE INTELLIGENCE yang dapat digambarkan secara visual sebagai berikut:
Gambar 1: Kecerdasan Majemuk
Dengan demikian, menurut Howard Gardner kecerdasan majemuk dapat dibuatkan akronim SLIM N BILS, yaitu:
- SPATIAL (VISUAL)
- LANGUAGE (BAHASA)
- INTERPERSONAL
- MUSIK
- NATURALIS
- BODILY KINESTETIK
- INTRAPERSONAL
- LOGICAL MATEMATIK
- SPIRITUAL
- KARAKTER
Karakter kunci (Core Character) dapat dibedakan berdasarkan pilihan masing-masing sekolah atau negara, yang secara visual dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2: Sembilan Pilar Pendidikan Karakter
Sembilan pilar pendidikan karakter tersebut menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Tetapi bagaimana pun juga sembilan pilar tersebut berada dalam empat medan yang berbeda-beda, yakni:
- bidang rumah tangga (home);
- bidang sekolah (school);
- bidang masyarakat atau komunitas (community); dan
- bidang dunia usaha (business).
Gambar tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa pendidikan karakter meliputi 9 (sembilan) pilar yang saling kait-mengait, yaitu:
- responsibility (tanggung jawab);
- respect (rasa hormat);
- fairness (keadilan);
- courage (keberanian);
- honesty (kejujuran);
- citizenship (kewarganegaraan);
- self-discipline (disiplin diri);
- caring (peduli), dan
- perseverance (ketekunan).
Dalam gambar tersebut, dijelaskan bahwa nilai-nilai dasar kemanusian yang harus dikembangkan melalui pendidikan yang bervariasi antara lima sampai sepuluh aspek. Di samping itu, pendidikan karakter memang harus mulai dibangun di rumah (home), dan dikembangkan di lembaga pendidikan sekolah (school), bahkan diterapkan secara nyata di dalam masyarakat (community) dan bahkan termasuk di dalamnya adalah dunia usaha dan dunia industri (bussiness).
Untuk mencapai tujuan dalam bidang pendidikan, Benjamin Samuel Bloom menjelaskan bahwa tujuan pendidikan meliputi tiga ranah yang yang tidak terpisahkan, yakni (1) ranah kognitif (cognitive domain), (2) ranah afektif (affective domain), dan (3) ranah keterampilan (psychomotor domain). Ketiga ranah tersebut sebenarnya selaras dengan aspek-aspek kemanusian yang esensial, yakni mulai dari fungsi otak, hati, dan fisik manusia yang dikenal dengan 3 H (head, heart, hand). Terkait dengan tiga aspek kemanusiaan tersebut, Thomas Lickona (1990: 53) berpendapat tentang pendidikan karakter dengan karakter yang baik (good character), yang meliputi tiga komponen pendidikan karakter, yakni:
- Moral knowing (pengetahuan tentang moral), melalui fase: (1) kesadaran moral (moral awareness), (2) pengetahuan nilai-nilai moral (knowing moral values), (3) pengambilan perspektif (perpective-taking), (4) penalaran moral (moral reasoning), (5) pengambilan keputusan (decision-making), dan (6) pengetahuan tentang diri sendiri (self-knowledge).
- Moral felling (perasaan tentang moral), meliputi fase: (1) kesadaran nurani (conscience), (2) penghargaan diri (self-esteem), (3) empati (empathy), (4) cinta kebaikan (loving the good), (5) kontrol diri (self-control), (6) kerendahan hati (humality).
- Moral action (aksi atau implemntasi tentang moral), meliputi fase: (1) kompetensi (competence), (2) keinginan (will), dan (3) kebiasaan (habit).
Konsep Thomas Lickona inilah yang kemudian melahirkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, atau yang lebih populer dikenal dengan PENDIDIKAN KARAKTER, atau yang lebih agamis lebih baik kita sebut sebagai pendidikan akhlak, atau pendidikan akhlakul karimah. Penggunaan istilah karakter sesungguhnya memang dapat mendamaikan terjadinya “perang bahasa” antara budi pekerti dan akhlak mulia. Tetapi sesungguhnya bukan bersifat subtansial, tetapi hanya bersifat etimologis. Proses penumbuhan budi pekerti tersebut sebenarnya masih sejalan dengan konsepsi P4 yang melalui pemahaman, penghayatan, dan pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan pribadi, masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Proses penumbuhan budi pekerti dilaksanakan pada jenjang pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) dan sederajat disebut melalui proses penumbuhan budi pekerti. Kelemahan proses penumbuhan budi pekerti atau pendidikan karakter yang diluncurkan sejak kelahiran konsep P4 sesungguhnya kurang menekankan pada pengamallan atau “moral action” dan tidak dilaksanakan secara istikomah (kontinyu dan konsisten).
Figure 1: Three Components of Good Character
MORAL KNOWING:
1. MORAL AWARENESS 2. KNOWING MORAL VALUES 3. PERSPECTIVE-TAKING 4. MORAL REASONING 5. DECISION-MAKING 6. SELF-KNOWLEDGE |
MORAL FEELING:
1. CONSCIENCE 2. SELF-ESTEEM 3. EMPATHY 4. LOVING THE GOOD 5. SELF-CONTROL 6. HUMALITY |
MORAL ACTION:
1. COMPETENCE 2. WILL 3. HABIL |
MORAL KNOWING:
1. MORAL AWARENESS 2. KNOWING MORAL VALUES 3. PERSPECTIVE TAKING 4. MORAL REASONING 5. DESCRIPTION MAKING 6. SELF KNOWLEDGE |
MORAL FEELING:
1. CONCSIENCE 2. SELF-ESTEEM 3. EMPATHY 4. LOVING THE GOOD 5. SELF-CONTROL 6. HUMILITY |
MORAL ACTION:
1. COMPETENCE 2. WILL 3. HABIT |
- NILAI-NILAI KARAKTER MENURUT PROF. SUYANTO, PH. D
Ketika Prof. Suyanto, Ph. D menjabat sebagai Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah di Departemen Pendidikan Nasional, Prof. Suyanto, Ph.D menegaskan sebagai berikut. Karakter adalah “cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.” Prof. Suyanto, Ph.D, mantan Dirjen Dikdasmen juga menyebutkan sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal manusia, yang kelihatan sedikit berbeda dengan sembilan pilar yang telah disebutkan di atas. Sembilan pilar karakter itu adalah:
- CINTA TUHAN DAN SEGENAP CIPTAAN-NYA;
- KEMANDIRIAN DAN TANGGUNGJAWAB;
- KEJUJURAN/AMANAH;HORMAT DAN SANTUN;
- DERMAWAN, SUKA TOLONG-MENOLONG DAN GOTONG ROYONG/KERJASAMA;
- PERCAYA DIRI DAN PEKERJA KERAS;
- KEPEMIMPINAN DAN KEADILAN;
- BAIK DAN RENDAH HATI, DAN;
- TOLERANSI, KEDAMAIAN, DAN KESATUAN.
Pilar-pilar pendidikan karakter tersebut jelas berbeda-beda sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Sembilan pilar menurut Prof. Suyanto, Ph. D, tampak jelas untuk kepentingan dan lingkungan atau jenjang pendidikan dasar dan menengah. Salah satu pilar tersebut terdapat pilar “hormat dan santun.” Walaupun pilar tersebut juga diambil dari 6 pilar karakter di Amerika Serikat yang disebut dengan “respect.” Bukankah “respect” juga harus dilaksanakan dalam semua lingkungan dalam kehidupan manusia?
Jumlah dan jenis pilar yang dipilih tentu akan dapat berbeda antara satu daerah atau sekolah yang satu dengan yang lain, tergantung kepentingan dan kondisinya masing-masing. Sebagai contoh, pilar toleransi, kedamaian, dan kesatuan menjadi sangat penting untuk lebih ditonjolkan karena kemajemukan bangsa dan negara. Tawuran antarwarga, tawuran antaretnis, dan bahkan tawuran antarmahasiswa, yang pelakunya adalah generasi muda masa depan, masih menjadi fenomena yang terjadi dalam kehidupan kita. Perbedaan jumlah dan jenis pilar karakter tersebut juga dapat terjadi karena pandangan dan pemahaman yang berbeda terhadap pilar-pilar tersebut. Sebagai contoh, pilar cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya tidak ditonjolkan, karena ada pandangan dan pemahaman bahwa pilar tersebut telah tercermin ke dalam pilar-pilar yang lainnya. Itulah sebabnya, ada sekolah yang memilih enam pilar yang akan menjadi penekanan dalam pelaksanaan pendidikannya, misalnya digambarkan sebagai berikut:
Gambar 3: Our Character Counts
Pillars Character Westwood Elementary – http://www.fisdk12.net
Dalam gambar tersebut, SD Westwood (Elementary) menekankan pentingnya enam pilar karakter yang akan dikembangkan, yaitu:
- TRUSTWORTHINESS KEJUJURAN)
- RESPECT (RASA HORMAT)
- RESPONSIBILITY (RASA TANGGUNG JAWAB)
- CARING (RASA KEPEDULIAN)
- CITIZENSHIP (RASA KEBANGSAAN)
- FAIRNESS (RASA KEADILAN)
Dalam enam pilar tersebut respect dan responsibility demikian menonjol. Namun enam pilar tersebut sangat menonjol sebagai model Amerika Serikat atau untuk ranah yang sesuai dengan kondisi negeri Paman Sam. Itulah sebabnya, definisi pendidikan karakter pun akan berbeda dengan jumlah dan jenis pilar karakter mana yang lebih menekankan makna “character education involves teaching children about basic human values including:
- “HONESTY (KETULUSAN, KEJUJURAN)
- KINDNESS (RASA SAYANG)
- GENEROSITY (KEDERMAWANAN)
- COURAGE (KEBERANIIAN)
- FREEDOM (KEMERDEKAAN)
- EQUALITY (PERSAMAAN), AND
- RESPECT (RASA HORMAT)”(http://www.ascd. org).
- KARAKTER INTI (CORE CHARACTER) PERLU DIFOKUSKAN
Untuk pencapaian tujuan pendididikan di Indonesia, pilar pendidikan karakter perlu difokuskan pada karakter inti (core character) yang sangat diperlukan, sesuai dengan situasi dan kondisi, serta kebutuhannya. Indonesia memang mempunyai 45 butir nilai Pancasila, dan memiliki 18 pilar pendidikan karakter. Kedelapan belas pilar pendidikan karakter tersebut bahkan telah dikuatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017, tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Tapi penjabaran 5 sila Pancasila menjadi 45 butir dan menjadi 18 pilar pendidikan karakter ternyata telah kehilangan butir “kejujuran”.
Oleh karena itu untuk memfokuskan nilai-nilai karakter tersebut sebaiknya dapat difokuskan seperti 7 atau 6 nilai karakter menurut Prof. Dr. Suyanto, atau bahkan atau 4 sifat Rasulullah:
- SIDDIQ (JUJUR)
- FATHONAH (CERDAS)
- AMANAH (DAPAT DIPERCAYA)
- TABLIGH (MENYAMPAIKAN DENGAN BENAR)
SIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan tersebut di atas, dapat disimpulkan beberapa kesim-pulan sebagai berikut:
- Taksonomi Bloom membedakan tiga ranah tujuan pendidikan: (1) ranah kognitif atau pengetahuan, (2) ranah afektif atau sikap, dan (3) ranah psikomotor atau keterampilan.
- Dari ketiga ranah tujuan pendidikan tersebut, tujuan yang tujuan pendidikan yang benar untuk dicapai adalah dua tujuan: (1) kecerdasan dan (2) karakter.
- Sesuai dengan pandangan Martin Luther King, fokus cerdas dan berkarakter perlu menjadi IKON yang cantik.
- Dengan kata lain intellegence plus character. ”That is the goal of true education”, demikianlah tambahnya. Itulah tujuan pendidikan yang sebenarnya, yakni menciptakan manusia yang cerdas secara komprehensif, keseluruhan aspek kecerdasan ganda tersebut. Jadi, kedua-duanya penting. Kita tidak bisa memilihnya. Dua-duanya merupakan satu kesatuuan tujuan pendidikan yang tidak dapat dipisahkan. Bukan hanya INSAN YANG CERDAS saja yang diperlukan tetapi yang lebih penting adalah yang BERKARAKTER. Karena tidak berkarater inilah yang telah melahirkan dampak MEGAKORUPSI yang telah menyibukkan KPK dengan kegiatan OTT-nya.
- Oleh karena itu nilai-nilai karakter yang harus difokuskan untuk dicapai dalam proses pendidikan, lebih baik jika menggunakan 4 (empat) nilai-nilai karakter: (1) JUJUR, (2) CERDAS, (3) DAPAT DIPERCAYA, DAN (4) TABLIGH ATAU BERKATA DENGAN BENAR (MENGHAPUSKAN UJARAN KEBENCIAN TERHADAP SESAMA ANAK BANGSA).
Jakarta, 5 Oktober 2017
Bisa dibilang, pendidikan bertujuan untuk memanusiakam manusia.