Oleh: Suparlan *)
Buku yang akan saya koreksi adalah berjudul Mengobarkan Kembali Api Pancasila. Buku tersebut hasil karya Sayidiman Suryohadiprodjo. Dalam pengantar penulisnya, buku ini merupakan kumpulan tulisan, khususnya yang pernah dimuat di harian Kompas. Meskipun kita sering mengatakan donot see the book from its cover, saya memang tidak meragukan lagi isinya. Apa lagi buku itu dipajang di Gramedia. Saya cepat ambil buku ini, dan segera saya buka-buka bab demi bab isi bukunya.
Dalam pengantar penulis juga disebutkan bahwa penerbitan buku ini atas persetujuan Mulyawan Karim, Kepala Redaksi Penerbit Buku Kompas. Oleh karena itu saya tulis mungkin saja kesalahan buku ini boleh jadi bukan karena sengaja dilakukan oleh penulisnya atau editornya, tetapi bisa juga redaksi penerbitnya.
Baiklah, saya akan coba jelaskan tentang koreksi buku tersebut sekali lagi. Karena korekso tersebut sudah saya lakukan dua kali, tapi yang saya sangat sayangkan sampai saat ini belum ada tanggapan sepatah kata pun terhadap koreksi tersebut. Atau apakah mungkin perlu diskusi terhadap koreksi tersebut. Apakah ada tanggapan balik terhadap koreksi tersebut?
Beberapa bab yang saya baca sekilas
Ada beberapa judul bab dalam buku tersebut yang telah saya baca sekilas. Misalnya pada halaman 99 berjudul Islam Moderat Pendukung Kesejahteraan Rakyat. Saya baca bab tersebut, karena saya juga baru saja menulis berjudul Islam (memang) Moderat, bahkan sudah saya unggah di portal MASDIK.COM. Kemudian, saya membuka halaman 146 tentang bab berjudul Peningkatan Mutu Birokrasi, karena saya ingat pernah menulis paper tentang pembinaan guru untuk lomba karya tulis Korpri tingkat nasional pada tahun 1982. Setelah itu, saya juga membuka bab berjudul Kerja Keras dan Pendidikan Kunci Kemajuan Bangsa, karena saya ingin membandingkan dengan tulisan saya berjudul Doa Makan Ala Anak-Anak Korea, yang saya baca memang orang Korea terkenal “orang sukses tidak santai; orang santai tidak sukses.” Salah satu doa makan anak-anak Korea tersebut adalah “satu kali makan, empat jam kerja.” Setelah itu saya juga membuka bab berjudul Pendidikan Dalam Keluarga, karena saya tertarik dengan Pasal 13 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang jalur pendidikan informal yang dikenal sebagai pendidikan keluarga. Itulah sedikit dari beberapa judul yang saya buka-buka isinya sekilas. Tetapi ketika membaca bab berjudul Pluralisme Sebagai Kekayaan Bangsa pada halaman 179, saya menjadi terpaku pada judul bab tersebut, dan setelah itu, saya terpana ketika menatap satu paragraf sebagai berikut:
“Namun, Republik Indonesia kemudian membuat kelalaian dalam perjuangannya. Kelalaian pertama adalah ketika para pemimpinnya terlalu mengutamakan IKA dan mengabaikan BHINNEKA. Sikap itu menghasilkan sentralisme yang mengutamakan kepentingan pemerintah pusat dan mengabaikan pluralisme daerah. Hal ini telah menimbulkan banyak persoalan dan kerugian bagi RI. Di masa depan hal demikian tak boleh terulang karena akan memperkuat usaha pihak-pihak yang hendak mengakhiri riwayat NKRI.”
Paragraf inilah yang telah membuat saya terpaku dan menimbulkan tanda tanya besar. Apakah yang dimaksudkan dengan IKA dan BHINNEKA dalam paragraf tersebut? Apakah IKA itu artinya SATU? Kalau arinya SATU, maka itulah kesalahan pertama yang saya temukan, karena IKA dalam kalimat Bhinneka Tunggal Ika artinya adalah ITU, bukan SATU. Nah, kata apakah yang artinya SATU? Tidak lain adalah TUNGGAL. Yang membuat kita salah adalah kata BHINNEKA, yang kalau kita pecah menjadi BHINNA — IKA yang artinya BERBEDA ITU. Lalu TUNGGAL IKA artinya SATU ITU.
Jika Anda membaca Kakawin Sutasoma karangan Empu Tantular, maka Bhinneka Tunggal Ika memang tidak berasal dari Bahasa Jawa Kuno, tapi berasal dari Bahasa Sansekerta. Bhinna artinya Pecah atau Berbeda, Ika artinya Itu, dan kata berikutnya Tunggal artinya Satu, dan Ika artinya Itu. Ika dalam Bahasa Sansekerta artinya itu, sama dalam Bahasa Jawa Kuno iku. Makna kata IKA yang artinya ITU itulah yang ingin saya luruskan, agar dalam kehidupan sehari-hari tidak lagi terdapat kesalahan etimologis.
Mudah-mudahan ada manfaatnya. Amin.
Depok, 30 Agustus 2016.