Oleh: Suparlan *)
Sebagai pendahuluan, yang dimaksud SISDIKDAS adalah sistem pendidikan nasional. Pada awal pengesahannya, singkatan ini sangat populer. Indonesia, mungkin juga dunia, sangat suka dengan singkatan. Sejak Presiden Sukarno sampai kini, kita sangat menyenangi berbagai bentuk singkatan, bahkan akronim. Tidak mengapa, karena itu termasuk teknik untuk memahami sesuatu, yang kita kenal sebaga TITIAN INGATAN, atau JEMBATAN KELEDAI, atau MNEMONIK. Sejak sekolah SD, kita sudah mengenal MEJIKUHIBINIU, yakni jembatan keledai untuk menyebutkan semua warna di dunia. Demikian pula dengan SISDIKNAS, yaitu singkatan Sistem Pendidikan Nasionat, yang keberadaannya ditetapkan berdasarkan Undang-Undang, satu payung hukum yang cukup kuat.
Sisdiknas pertama sampai kini
Sejak NKRI tanggal 17 Agustus 1945 berdiri, Indonesia telah memiliki tiga Sisdiknas, yaitu: (1) Undang-Undan Nomor 4 Tahun 1950 jo. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954, (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989, dan (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Pada saat ini, proses pelaksanaan Sisdiknas masih sedang berjalan. Masalah dan kendalanya pun masih sedang ada di depan hidung kita. Seperti masalah guru yang dipukul oleh orang tua murid pun masih terasa sakitnya. Masalah anak-anak yang tidak sempat dapat menyelesaikan sekolahnya pun masih terjadi. Sebelum Sisdiknas ketiga ini dilaporkan kepada rakyat pemilik NKRI, seharusnya semua masalah itu dapat segera diselesaikan. Insya Allah.
Presiden bersama Rakyat
Sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di tanah air, Sisdiknas ditetapkan oleh Presiden, penguasa tertinggi di negeri ini, bersama dengan rakyat yang duduk di lembaga DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Jadi, sisdiknas tersebut dapat disebut sebagai amanat rakyat. Bukan hanya kehendak Presiden, dan bukan pula kehendak DPR, tetapi kehendak bersama atau singkatnya amanat rakyat.
Kalau kita buka internet tentang Sisdiknas, maka kita dapat mempelajarinya dengan seksama, mulai dari A sampai Z, termasuk kapan Sisdiknas itu mulai disyahkan dan kapan mulai diundangkan. Tulisan singkat ini sama sekali bukan untuk mengajari pembaca, tapi sekedar mengingat kembali, termasuk yang menulis ini. Memang kita semua sebagai anak bangsa perlu mempelajarinya, termasuk yang menulis ini. Al-Quran memberikan perintah kepada umat-Nya dengan IQRA, dan tulislah! Sisdiknas berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 ini disyahkan di Jakarta oleh Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri pada tanggal 8 Juli 2003, dan diundangkan oleh Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri pada tanggal 8 Juli 2003. Jadi sampai detik tulisan singkat ini ditulis, Sisdiknas berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 ini telah berjalan dalam usia tiga belas tahun. Cukup lama rupanya. Tujuan pendidikan tersebut bersumber dari konstitusi yang sama, khususnya Pembukaan UUD 1945. Jadi tujuan pendidikan sejalan dengan tujuan negara yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Sisdiknas pertama dan kedua?
Bagaimana jika dibandingkan dengan Sisdiknas pertama dan kedua? Sisdiknas ketiga ini sedang berjalan 13 tahun. Sisdiknas pertama berusia 39 tahun, termasuk juncto-nya 4 tahun. Sisdiknas kedua berusia 19 tahun. Itulah sejarah Sisdiknas sekilas di republik tercinta Indonesia. Apakah pelaksanaan amanat rakyat tersebut dievaluasi, baik oleh DPR-RI, maupun oleh Presiden atau Menteri yang terkait? Mestinya demikian. Terus terang saya tidak mengikuti secara pasti dengan teliti. Buku Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia (Fifty Years Development of Indonesian Education) yang disusun oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan oleh Prof. Dr.-Ing Wardiman Djojonegoro yang disusun pada tanggal 17 Agustus 1995 dan dikatapengantari oleh Presiden Soeharto, merupakan karya besar untuk mengevaluasi dan sekaligus melaporkan perkembangan pendidikan di republik ini, serta menjalaskan berbagai masalah yang masih harus diselesaikan.
Sekilas catatan pelaksanaan Sisdiknas Ketiga
Dalam tulisan singkat ini, secara sekilas akan disebutkan tentang pelaksanaan Sisdiknas ketiga ini. Tulisan singkat ini tidak akan menjelaskan secara mendetail, karena keterbatasan ruang. Boleh jadi perlu disusun oleh sebuah tim yang ditunjuk khusus untuk itu. Dalam tulisan singat ini hanya akan disebutkan butir-butirnya saja.
Pertama, pelaksanaan Program Wajib Belajar Sembilan Tahun berjalan lancar dan berhasil. Program ini sebenarnya telah dimulai sejak Sisdiknas kedua. Pencanangan Program Wajib Belajar Enam Tahun ditandatangani oleh mantan Presiden Soeharto. Pelaksanaan Program Wajib Belajar 12 Tahun masih ada di depan hidung kita.
Kedua, peuntasan Desentralisasi dan Otonomi Pendidikan tersendat-sendat. Desentralisasi telah berhasil mengentaskan republik ini dari keinginan beberapa provinsi untuk merdeka. Dualisme penyelenggaraan pendidikan dasar oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kementerian Dalam Negeri berjalan lama, meskipun selesai. Tapi kini penyerahan kewenangan dalam penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah dari Kabupaten ke Provinsi belum selesai. Saya memperoleh laporan dari Dewan Pendidikan Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah 60% gedung SD tinggalan proyek Inpres telah rusak berat. Sekarang tugas itu harus diambil alih oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Sementara APBD yang seharusnya berjumlah 20% untuk pendidikan itu masih dalam teori. Gedung-gedung sekolah SMA/SMA yang diserahkan kepada Provinsi relatif baik.
Ketiga, pembentukan Lembaga Ad hock pendidikan mengalami kemacetan. Sejalan pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Pendidikan yang tersendat-sendat, masyarakat tidak lagi memiliki wadah peran sertanya dalam bidang pendidikan. Pembentukan Dewan Pendidikan Nasional telah gagal total. Dewan Pendidikan Provinsi dan Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota mengalami mati suri. Komite Sekolah/Madrasah di sekolah negeri dan swasta sudah berjalan, namun masih melaksanakan fungsi yang belum optiman untuk meningkatan mutu layanan pendidikan. Komite Sekolah masih tetap menjadi stempel Kepala Sekolah. Dengan demikian, Pasal 56 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasiolanal tidak terlaksana sebagaimana mestinya
Keempat, sementara itu, pembentukan Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga baru saja terbentuk pada tahun 2016 ini, meski Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, sebagaimana telah dijelaskan di atas telah disyahkan dan diundangkan oleh Presiden pada tanggal 8 Juli 2003. Pembangunan pendidikan keluarga sesungguhnya sama sebangun dengan pembangunan bangsa dan negara.
Kelima, masih saja terjadi penetapan kebijakan yang tidak dilaksanakan secara konsisten. Kebijakan Sekolah Unggulan, sebagai contoh, pernah dimansuhkan oleh Mahkamah Konstitusi lantaran dinilai terjadi diskriminasi. Kebijakan-kebijakan yang lain seperti Pendidikan Karakter yang telah diluncurkan bertepatan pada peringatan Hardiknas Tahun 2010 tidak terlaksana, dan pada tahun 2015 diubah dengan program Penumbuhan Budi Pekerti. Ketidakkonsitenan tersebut berjalan lurus dan sama sebangun dengan program P4 dan Pilar Kegidupan Berbangsa.
Keenam, pendidikan kita sebenarnya dapat dikatanan tidak dalam satu sistem. Hal tersebut terjadi antara lain tidak ada ketentuan tertinggi tentang lembaga yang berhak merumuskan tujuan pendidikan, dan berapa lama kebijakan tersebut harus dilaksanakan secara konsisten. Pendidikan di Indonesia bersifat labil, sehingga masyarakat menyebut pomeo “ganti menteri, ganti kebijakan,”
Terakhir penulis memohon maaf, karena terus terang jika tulisan ini telah membuat kecil hati kita. Bukan itu maksud sebenarnya. Tapi sebaliknya untuk membuat percaya diri yang lebih kuat, karena kata-kata mutiara ini. “Akar pendidikan itu pahit, tapi buahnya manis.” The root of education is bitter, but the fruit is sweet.”
Depok, 2 September 2016.