Belajar Tuntas dan Pobia Terhadap Kebijakan PR (Pekerjaan Rumah)

1
1894

By: Suparlan *)

Dosen FKIP Universitas Tama Jagakarsa, Jakarta Selatan

Abstraksi: Negeri ini memiliki pengalaman panjang tentang proses pengembangan dan pelaksanaan kurikulum. Sejak kemerdekaan NKRI pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai dengan saat ini (2016), Indonesia telah memiliki 10 (sepuluh) macam kurikulum yang telah dilaksanakan dalam pengelolaan dan penyelenggaraan kurikulum. Rencana Pelajaran 1947 adalah kurikulum pertama yang digunakan di Indonesia. Kurikulum pertama itu belum menggunakan nama kurikulum. Peminjaman kosa kata dari bahasa asing masih terus terjadi sampai saat ini. Istilah PR (pekerjaan rumah) pada awalnya sebenarnya hanya digunakan untuk para pekerja untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum diselesaikan pada hari sebelumnya. Istilah itu kemudian digunakan untuk proses pembelajaran bagi peserta didik ketika belum diselesaikan secara tuntas. Proses pembelajaran itu bukan hanya untuk kegiatan kecakapan fisik (psikomotor) tetapi juga kegiatan dalam ranah kognitif dan afektif dalam proses pembelajaran. Pada tahun sekita 70-80-an, lehirlan konsep belajar tuntas (mastery learning).  Berdasarkan definisi, mastery learning is a method of instruction where the focus is on the role of feedback in learning. Furthermore, mastery learning refers to a category of instructional methods which establishes a level of performance that all students must master before moving on to the next unit” (Slavin, 1987). Berdasarkan definisi tersebut, konsep belajar tuntas bukan hanya untuk mencapai hasil belajar setingkat kompetensi (competences), tetapi sampai kepada level unjuk kerja atau performansi (performance). Bukan hanya sampai dengan mengetahui atau memahami (knowing atau understanding) tetapi sampai melakukan (doing). Dengan demikian, ketiga ranah tujuan pendidikan telah dapat dicapai. Jika proses pembelajaranya belum sampai pada tingkat tuntas atau mencapai standar kompetensi yang ditetapkan, mata perlu upaya untuk meningkatkannya, misalnya dengan memberikan PR (pekerjaan rumah). Kemdikbud mempunyai gagasan untuk menghentikan PR, agar sekolah memiliki cukup waktu untuk melaksanakan, misalnya program penguatan karakter (PPK). Tulisan ini akan menjelaskan korelasi antara pemberhentian PR dengan pelaksanaan program PPK dan upaya meningkatan hasil belajar (learning outcomes) peserta didik, sehingga penghentian PR bagi peserta didik tidak hanya menjadi kebijakan yang sia-sia

Kata-Kata Kunci: belajar tuntas, mastery learning, pekerjaan rumah, PR, kewajiban belajar, definisi belajar tuntas.

Pendahuluan

Saya seorang dosen tetap di Universitas Tama, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Paradigma yang diterapkan dewasa ini adalah “Student Centered Learning” bukan “Teachers-Centered Learning.” Mata kuliah yang saya ampu adalah WRITING, mulai WRITING 1 sampai PAPER WRTING. Sebagai dosen yan punya pengalaman sebagai guru pada jenjang pendidikan menengah, saya meyakini bahwa PENGALAMAN ADALAH GURU YANG TERBAIK. Oleh karena itu, saya sering memberikan tugas kepada mahasiswa untuk, bukan hanya teori tentang menulis, tetapi praktik menulis. Misalnya pada bulan Oktober 2016 ini, mahasiswa memperoleh tugas untuk menulis tentang SUMPAH PEMUDA. Tentu dalam Bahasa Inggris.

Dalam media massa, sering terjadi pomeo dalam masyarakat ‘ganti menteri ganti kebijakan.’ Pomeo tersebut telah tertanam mendalam dalam benak masyarakat. Pomeo tersebut telah menjadi pobia atau perasaan takut terhadap perubahan yang disebabkan oleh akibat yang ditimbulkan oleh perubahan kebijakan pendidikan. Perubahan kebijakan tentang kurikulum sebagai contoh, selalu dikaitkan dengan perubahan buku pelajaran yang digunakan di sekolah. Itu berarti akan naiknya biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh orang tua/wali peserta didik. Maka timbullah pobia tersebut. Ujung-ujungnya memang masalah duit (UUD), seperti masalah yang krusial di negeri ini. Seperti masalah Kyai Kanjeng, masalah tingginya jumlah penduduk yang buta huruf, sampai dengan masalah penelantaran dan pembunuhan anak, tetap berujung pada masalah kemiskinan atau kefakiran. Padalah kefakiran terkait dengan kekufuran. Itulah yang terjadi di daerah tapal kuda Jawa Timur dan daerah mana pun di dunia. Konsep belajar tuntas sebenarnya konsep lama yang sangat positif yang lahir pada tahun 70-80-an. Namun karena konsep tersebut dapat dikaitkan dengan kebijakan untuk menghapuskan Pekerjaan Rumah, maka ketika lahir kembali konsep BELAJAR TUNTAS, maka terjadilan pobia di benak masyarakat. Padalah penerapan belajar tuntas sebenarnya dapat meluruskan polemik masalah PEKERJAAN RUMAH.

Kembali kepada gagasan Mendikbud tentang full day school, masalahnya juga sama sebangun. Juga menjadi pomeo yang sama. Meski akhirnya akan diberlakukan penghapusan PR untuk anak-anak, agar anak-anak tidak memiliki beban belajar yang terlalu berat. Tapi sumber penyebabnya adalah semangat belajar masyarakat masih rendah, buta aksara yang masing tinggi, dengan budaya literasi yang masih rendah. Menjadi kontradiktif dibuatnya. Ada larangan memberikan PR, sementara itu kita memang masih harus meningkatkan budaya literasinya. Kembali soal implementasi program GLS (Gerakan Literasi Sekolah) yang telah dimulai oleh Mendikbud Anies Baswedan tidak dilanjutkan lagi oleh Mendikbud Muhadjir Effendie. Sementara Mendikbud menoleh ke kebijakan lain untuk menghapuskan PR bagi anak-anak, padahal semua itu harus dilaksanakan secara holistik dengan banyak hal, termasuk bagaimana sekolah harus menyusun silabus untuk melaksanakan KURIKULUM.

Kewajiban Belajar

Semua manusia mesti belajar, karena belajar merupakan kewajiban bagi setiap insan. Binatang dan tumbuh-tumbuhan tidak mempunyai kewajiban untuk belajar, karena binatang dan tumbuhan hanya menggunakan instinct. Ketinggian derajat manusia ditentukan karena akalnya. Belajar merupakan upaya dari tidak tahu menjadi tahu untuk menjadi tahu. Itulah definisi belajar tempo dulu dari guru mata pelajaran Ilmu Mendidik. Definisi kuno tersebut memberikan pemahaman bahwa proses belajar merupakan proses yang harus dialami oleh setiap manusia. Definisi ini selajar dengan pendapat John Dewey tentang pendidikan, yang menegaskan bahwa ‘education is not a preparation of life, but it is life itself.’ Masalahnya terjadi karena belajar menjadi kegiatan yang dipaksa-paksa dengan memberikan Pekerjaan Rumah (PR), yang boleh jadi mempunyai dampak mempunyai beban belajr yang berlebih atau melebihi kemampuan peserta didik. Bahkan boleh jadi proses belajar mengajarnya menggunakan model paksaan atau bahkan paksaan dan menghilangkan hak-hak anak untuk bermain. Larangan memberikan PR kepada anak-anak tersebut  harus selaras dengan pemberian hak kepada anak-anak untuk bermain, sesuai dengan hak yang dijamin oleh PBB. Untuk kita ketahui, berdasarkan Konvensi Hak Anak-Anak PBB, anak-anak kita mempunyai 10 (sepuluh) hak yang harus ditunaikan oleh orang tua/wali peserta didik, yakni hak untuk 1) bermain, 2) mendapatkan pendidikan, 3) mendapatkan perlindungan, 4) mendapatkan nama (identitas), 5) mendapatkan status kebangsaan, 6) mendapatkan makanan, 7) mendapatkan akses kesehatan, 8) rekreasi, 9) mendapatkan kesamaan, dan 10) mendapatkan peran dalam pembangunan.

Definisi Belajar tuntas

Konsep belajar tuntas (mastery learning) sebenarnya mempunyai maksud untuk melaksanakan proses pembelajaran agar peserta didik agar dapat mencapai hasil belajar (learning outcome) secara optimal, sesuai dengan potensi yang dimiliki peserta didik dan sesuai dengan materi pelajaran yang telah diatur dalam kurikulum, bahkan sesuai dengan prinsip-prinsip pembelajaran yang telah diatur sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan dalam Sistem Pendidikan Nasional.

Berdasarkan definisi, mastery learning is a method of instruction where the focus is on the role of feedback in learning. Furthermore, mastery learning refers to a category of instructional methods which establishes a level of performance that all students must master before moving on to the next unit” (Slavin, 1987). Berdasarkan definisi tersebut, konsep belajar tuntas bukan hanya untuk mencapai hasil belajar setingkat kompetensi (competences), tetapi sampai kepada level unjuk kerja atau performansi (performance). Bukan hanya sampai dengan mengetahui atau memahami (knowing atau understanding) tetapi sampai melakukan (doing). Dengan demikian, ketiga ranah tujuan pendidikan telah dapat dicapai.

Dengan demikian, konsep belajar tuntas seharusnya dapat menjadi acuan dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan agar tidak terjadi kelebihan muatan (over loaded) atau sebaliknya justru terjadi kualitas pembelajaran yang berada di bawah standar. Bahkan konsep tersebut bermanfaat untuk mengatur aneka proses pembelajaran seperti:

  1. Pembelajaran awal (pre-instruction); Dalam standar proses pembelajaran, ada tiga standar dalam proses pembelajaran, yakni: (1) kegiatan pendahuluan, appersepsi, (2) kegiatan inti, dan (3) kegiatan penutup atau evaluasi;
  2. Penilaian awal (pre-assessment) untuk mengetahui kesiapan siswa untuk mencapai hasil belajar;
  3. Penilaian formatif;
  4. Proses pembelajaran dengan sistem less atau pelajaran tambahan, dengan prinsip win-win solution;
  5. Pemberian hak kepada orang tua dan guru untuk memberikan hukuman sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu pendidikan;
  6. Dan kaidah-kaidah dalam penerapan kurikulum lainnya.

Jika kembali kepada tiga standar proses pembelajaran tersebut, maka sesungguhnya kita telah melaksanakan atau mendekati pelaksanaan konsep belajar tuntas. Dengan demikian, semua ketentuan dalam pelaksanaan kurikulum tertuang dalam silabus seharusnya dipedomani. Pengelolaan dan penjabaran kurikulum tentang pelaksanaan kebijakan tentang pekerjaan rumah (PR) atau kegiatan apa saja untuk mencapai tujuan pendidikan, misalnya tentang pelaksanaan bimbingan belajar di sekolah, studi banding, kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler diatur dalam silabus, serta segala sesuatu diatur dalam silabus sebagai penjabaran kurikulum. Dengan demikian, ketakutan terhadap laksanaan PR yang dilaksanakan oleh guru dapat dihindarkan, karena hanya akan menyebabkan: (1) beban belajar bagi peserta didik yang terlalu berat, (2) sibuknya orang tua/wali peserta didik untuk melaksanakan program tersebut, karena segala sesuatu yang dilaksanakan untuk melaksanakan kurikulum harus menjadi bagian yang tak terpisahkan untuk mencapapai hasil belajar (learning outcomes) yang diamanatkan dalam kurikulum (periksa Formula Kurikulum dalam Suparlan, Tanya Jawab Pengembangan Kurikulum dan Materi Pelajaran, Bumi Aksara; Formula Kurikulum menurut Engkoswara)

Bagaimana Belajar Tuntas dilaksanakan?

 Sebenarnya ketakutan secara berlebihan terhadap PR tidak perlu terjadi, jika strategi belajar mengajar yang dilaksanakan oleh guru telah mengacu kepada konesep belajar tuntas (mastery learning), dan konsep belajar tuntas telah dilaksanakan dengan baik. Bagaimana belajar tuntas dilaksanakan? Berikut ini dijelaskan secara singkat oleh Bloom (1971).

 Pertama, para guru membuat tahapan materi pembelajaran dengan menggunakan unit demi unit palajaran sesuai dengan yang sesuai dengan kondisi pembelajaran, waktu belajar yang telah ditentukan, dan diorganisasikan berdasarkan isi kurikulum.

Kedua, para guru selalu mengecek kemajuan hasil belajar yang telah dicapai. Hasil belajar tersebut perlu diketahui dengan kegiatan remidiasi atau kegiatan korektif oleh guru, dan kemudian para siswa melakukan umpan balik (feedback) terhadap materi pelajaran yang telah diterima oleh peserta didik.

Ketiga, mengikuti proses belajar mengajar tersebut berdasarkan satu atau dua periode belajar mengajar yang telah ditentukan, kemudian guru melaksanakan penilaian formatif (formative assessment) berdasarkan unit-unit materi pelajaran tersebut. Penilaian formatif tersebut diberikan kepada siswa terhadap siswa tentang materi pelajaran yang telah dipelajari. Sesuai dengan target pencapaian atau penguasaan hasil belajar (Bloom, Hastings, & Madaus, 1971), para guru dapat melakukan kegiatan korektif tentang kesulitan-kesulitan belajar (learning difficulties) dengan tujuan untuk menguasai hasil belajaran yang akan dicapai (to master the desired learning outcomes).

Keempat, jika para siswa telah dapat menyelesaikan kegiatan korektif (setelah satu sampai dua periode kegiatan), kemudian para siswa mengambil penilaian formatif yang diarahkan kepada pencapaian tujuan belajar, termasuk pembelajaran korektif dan pembelajaran rimedial, misalnya tentag kesulitan-kesulitas pembelajaran yang dialami peserta didik. Kegiatan ini termasuk untuk memberikan pelayanan sebagai alat untuk memberikan satu motivasi yang kuat (a powerful motivativasional tool) dengan menawarkan kesempatan kedua untuk berhasil (by offering students a second chance to succeed). Sejalan dengan kegiatan-kegiatan berbaikan tersebut, Bloom memberikan saran agar para guru merencanakan kegiatan penguatan atau kegiatan tambahan (extension activities) kepada para siswa dengan kegiatan yang menarik untuk memperluas dan memperbanyak proses belajar.

Dalam hal ini, Bloom percaya bahwa hampir seluruh siswa, jika diberikan kondisi belajar yang cukup untuk mencapai belajar tuntas, akan benar-benar dapat menguasai materi belajar atau learning outcomes (Bloom, 1976; Guskeym 1997a). Sejumlah peneliti percaya bahwa jika dibandingkan dengan para siswa yang mengikuti kelas secara tradisional, para siswa yang telah dilaksanakan dengan kelas belajar tuntas yang secara konsisten akan mencapai hasil belajar (Anderson, 1994, Guskey &Pigott, 1988, Kulik, Kulik & Bangert-Dwrons, 1990). Dengan kata lain pemberian atau penambahan kegiatan Pekerjaan Rumah (PR) yang memberatkan peserta didik sebenarnya tidak diperlukan. Tapi kenyataan di lapangan, pelaksanaan unsur-unsur belajar tuntas tidak dilaksanakan secara konsisten, misalnya pembelajaran awal, penilaian awal (pre-tes dan pos-tes).

Unsur-Unsur Belajar Tuntas

 Berikut ini adalah unsur-unsur utama belajar tuntas yang terjadi di banyak tempat yang dewasa ini telah mengembangkan beberapa model dan intervensi. Penelitian telah secara konsisten mengaitkan unsur-unsur ini kepada pembelajaran secara efektif dan keberhasilan belajar siswa (Gukey, 2009; Marzano, 2009; Rosenshine, 2009).

Dampak Penilaian dan Pembelajaran Awal

Kebanyakan belajar tuntas menekankan tentang pentingnya pembelajaran awal bagi peserta didik sebelum memulai pelaksanaan pembelajaran. Kegiatan menilaian awal tersebut untuk menentukan apakah peserta didik memiliki pengetahuan dan keterampilan prasyarat untuk mencapai hasil belajar telah ditetapkan. Beberapa guru yang melaksanakan penilaian awal kepada siswa secara lisan dengan meminta mereka untuk menjelaskan pengalaman belajar sebelumnya atau pemahaman. Siswa yang hasil penilaian awalnya digunakan untuk tingkat keberhasilan pembelajaran. Oleh karena itu dalam belajar tuntas terdapat apa yang dikenal dengan unsur pre-tes dan pos-tes. Hasil pre-tes dan pos-tes tersebut digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan pembelajaran, apakah sudah tercapai belajar tuntasnya atau masih belum.

Leyton (1983), seorang mahasiswa Bloom, mempelajari dampak pengajaran awal untuk mengidentifikasi pengetahuan dan keterampilan prasyarat untuk mengetahuai kesiapan peserta didik untuk sukses. Guru memberian penilaian awal secara singkat untuk semua siswa untuk mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa dianggap penting untuk keberhasilan belajar di kelas yang lebih tinggi. Guru menggunakan hasil penilaian awal untuk membantu siswa mengidentifikasi dan kemudian meninjau hasil belajar (learning outcomes) yang belum tuntas. Hasil belajar tersebut pastinya terkait dengan tiga ranah tujuan pendidikan yang akan dicapai. Berdasarkan penelitian Leyton (1983) tersebut, proses pembelajaran yang dilakukan dengan pembelajaran awal dan penilaian akhir ternyata mempunyai dampak positif untuk meningkatkan ketuntasan hasil belajar.

Konsep belajar tuntas

Unsur lain untuk meningkatkan ketuntasan belajar siswa, perlu intervensi penggunaan penilaian formatif secara sistematis untuk  memantau kemajuan siswa dan memberikan siswa umpan balik dari peserta didik (Hattie & Timperley, 2007). Penilaian ini mengukur tujuan pembelajaran yang paling penting dari unit instruksional yang telah dilaksanakan dalam jangka waktu dalam waktu pembelajaran yang dilaksanakan. Pada akhir pertemuan pembelajaran pertama, penilaian formatif dilaksanakan untuk mengetahi hasil belajar yang sudah tuntas atau belum. Penilaian formatif tersebut, peserta didik mungkin menjawab kuis singkat, tugas tertulis, presentasi lisan, demonstrasi keterampilan, atau pertunjukan. Pada dasarnya, penilaian formatif merupakan perangkat penialain untuk mengumpulkan bukti belajar siswa. Penilaian formatif menekankan peprtanyaan penilaian “untuk” belajar, sebagai lawan penilaian “dari” belajar (Stiggins, 2009). Penilaian formatif dapat disebut sebagai komponen monitoring kemajuan hasil belajar.

Pembelajaran Korektif

Proses pembelajaran korektif sebagai proses yang disebut sebagai “reteaching,” yang berfungsi untuk pembelajaran ulang atau pembelajaran remedial. Proses pembelajaran ulang ini dimaksudkan untuk mengakomodasi perbedaan pemahaman antara peserta didik dan gurunya, termasuk untuk mengakomodasi perbedaan gaya belajar siswa, media dan metode belajar, atau tingkat atau jenis kecerdasan guru dan siswa (Sternberg, 1994). Beberapa guru melibatkan para siswa dalam tutor teman sebaya atau kelompok pembelajaran kooperatif. Lainnya menggunakan pembantu instruksional paraprofessional yang dilaksanakan guru bantu. Pembelajaran korektif tersebut sebenarnya telah dilaksanakan oleh lembaga bimbingan mata pelajaran atau lembaga-lembaga pendidikan nonformal yang membimbing peserta didik untuk mencapai hasil belajar secara optiman, atau untuk mencapai ketuntasan dalam belajar.

Dalam kegiatan pembelajaran korektif biasanya menambah sekitar 10-20 persen lebih banyak waktu untuk awal unit pembelajaran (Block, Efthim, & Burns, 1989). Untuk unit satu atau dua minggu, misalnya pembelajaran korektif mungkin bertahan satu atau dua hari. Bloom (1974) berpendapat, bahwa besarnya bantuan individual ditawarkan di awal urutan instruksional secara drastis akan mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk perbaikan di unit kemudian. Karena instruksi korektif menjamin bahwa siswa memiliki prasyarat belajar untuk unit berikutnya, instruksi awal dalam unit kemudian dapat melanjutkan lebih cepat, memungkinkan para guru untuk menutupi kekurangan materi pelajaran dengan sebanyak materi yang belum tuntas diajarkan, karena mereka telah menggunakan metode tradisional (Guskey, 2008).

Oleh karena itu, proses pemberian PR (Pekerjaan Rumah) yang telah diberikan di satuan pendidikan SD atau SMP sebenarnya dapat disamakan sebagai proses pembelajaran korektif, asalkan memenuhi unsur-unsur belajar tuntas, yang tidak dilaksanakan dengan proses pemaksaan, atau proses kekerasan oleh siapa pun juga, termasuk yang kemungkinan dilakukan oleh ayah, ibu, dan gurunya, karena sesungguhnya peserta didik harus dikembalikan kepada pemilik sejatinya, termasuk yang hak untuk menghukupnya (Seorang Ibu yang peduli, Give teachers the right to cane in class, The Star, Wednesday, May 22, 1996).

Pembelajaran dan Penilaian formatif

Dalam penguasaan pembelajaran awal dan penilaian awal dilaksanakan untuk membantu siswa belajar secara tuntas. Jadi setelah kegiatan pembelajaran korektif dan pembelajaran remideal memberikan kesematan untuk proses pelaksanaan penilaian formatif yang membantu menentukan efektivitas pembelajaran korektif dan menawarkan siswa kesempatan kedua untuk menunjukkan penguasaan dan pengalaman sukses. Proses penilaian formatif  digunakan untuk mengukur efektivitas strategi intervensi belajar melalui penilaian formatif. Tapi mereka juga mengakui bahwa siswa yang melakukan dengan baik penilaian formatif kedua telah belajar banyak dan pantas nilai yang sama dengan mereka yang melaksanakan penilaian formatif berikutnya.

Penilaian formatif menawarkan contoh yang sebanding. Sebagai contoh, banyak orang tidak lulus tes sopir mereka pada upaya pertama. Pada percobaan kedua atau ketiga, mereka dapat mencapai tingkat tinggi yang sama seperti orang lain lakukan pada pertama mereka. Apakah perlu untuk membatasi driver ini, misalnya, untuk mengemudi di cuaca cerah saja? Dalam cuaca buruk, mereka harus diminta untuk menepi dan taman sampai membersihkan cuaca? Itu akan konyol. Karena mereka akhirnya menemukan standar kinerja yang tinggi sama dengan orang-orang yang lulus pada upaya awal mereka, mereka menerima hak yang sama. Hal yang sama harus berlaku bagi siswa yang terlibat dalam kegiatan korektif dan akhirnya menunjukkan bahwa mereka juga, telah belajar dengan baik.

Pengayaan atau Perpanjangan Aktivitas

Untuk menerapkan konsep belajar tuntas, guru juga dapat menawarkan kegiatan pengayaan yang efektif yang memberikan pengalaman yang berharga, menantang, dan bermanfaat pengalaman belajar bagi peserta didik yang telah menguasai materi dan tidak perlu pembelajaran korektif. Kegiatan ini harus memungkinkan peserta didik sukses untuk mengeksplorasi secara lebih mendalam berbagai topik terkait yang tajam menarik perhatian mereka tetapi berada di luar kurikulum yang ditetapkan. Banyak guru mengembangkan kegiatan pengayaan untuk siswa berbakat, termasuk kegiatan akademik dan latihan yang menantang, berbagai proyek multimedia, dan tutor teman sebaya (Whiting, Van Burgh, & Render, 1995). Mereka juga merupakan bagian dari ruang kelas menerapkan pembelajaran yang dibedakan (Tomlinson, 2006). Dengan demikian, peserta didik yang terlibat dalam kegiatan pengayaan untuk memperoleh pengalaman belajar yang berharga tanpa harus mengikuti pembelajaran perbaikan. Hal ini membuat lebih mudah bagi siswa lain dapat melakukan pekerjaan perbaikan. Peserta didik yang lain yang lebi maju dapat mengikut pembelajaran untuk unit berikutnya.

Tantangan bagi guru dalam melaksanakan kegiatan pengayaan atau ekstensi adalah untuk memastikan bahwa kegiatan ini melibatkan para siswa dalam pengalaman belajar yang benar-benar berharga. Peserta didik yang sukses akan menunggu waktu mereka, melakukan lebih, menyelesaikan masalah yang sulit atau mengerjakan proses penilaian berikutnya, dan memberikan pembelajaran korektif kepada lebih banyak siswa yang dapat mengikuti kegiatan pengayaan, memperluas pemahaman mereka, dan memperbanyak pengalaman belajar mereka.

Mempertahankan dan Memperluas Sukses

Para peneliti saat ini umumnya membenarkan dan mengakui kebenaran konsep belajar tuntas. Yang terpenting adalah untuk meningkatkan penguasaan hasil belajar diri sendiri. Lebih dari itu untuk mencapai atau bangkan meningkatkan proses belajar siswa, bahan ajar, dan lingkungan belajar di rumah dan dukungan ekosistem belajar dengan memberikan fokus pada keterampilan berpikir tingkat yang lebih tinggi atau HOTS (Higher Order Thinking Skills). Upaya untuk mengintegrasikan penguasaan belajar dengan strategi inovatif lainnya muncul sangat menjanjikan (Guskey, 1997b). Tidak hanya pasrah kalah untuk tidak berbuat apa-apa dalam proses pembelajaran. Tapi harus ada upaya untuk meningkatkan prestasi lebih tinggi, kita dapat terus belajar untuk meningkatkan penguasaan hasil pembelajaran. Memperhatikan unsur-unsur ini akan memungkinkan pendidik untuk membuat langkah besar dalam upaya mereka untuk menutup kesenjangan prestasi dan membantu semua siswa mencapai keunggulan dalam belajar, termasuk dengan memberikan PR (Pekerjaan Rumah) melalui konsep belajar tuntas (mastery learning). Jangan terjadi pobia untuk melaksanakan tugas PR. Yang terpenting tugas tersebut untuk meningkatkan hasil belajar secara optimal.

Les: Positif dan Negatifnya

Les disebut juga dengan pelajaran tambahan. Saya punya tetangga lulusan IPB yang yang sangat akrab dengan anak-anak SD dan SMP. Beliau menguasai materi pelajaran Matematika dan IPA, IPS, dan bahkan “pelajaran” Agama dan mengaji. Ibu-ibu tetangga juga belajar mengaji atau belajar membaca Surah Yasin dengan beliau. Sungguh kegiatan tersebut mempunyai manfaat sosial dan psikilogis yang besar sekali. Khusus dengan pelajaran tambahan untuk anak-anak SD dan SMP, kegiatan pelajaran tambahan untuk beberapa mata pelajaran tersebut lebih merupakan kegiatan remedial atau pendalaman materi pelaran ketika anak-anak merasa pelajarannya belum dikuasai secara tuntas. Jadi kegiatan pendalaman materi pelajaran dalam kegiatan les tersebut dapat disebut sebaga kegiatan belajar tuntas (mastery-learning). Tidak ada paksaan kepada anak-anak untuk mengikuti pelajaran tambahann ini. Kegiatan les tersebut memang dibutuhkan oleh anak-anak. Pembimbing les tersebut justru berlaku sebagai pedagogok sejati. Banyak anak-anak yang setiap hari Sabtu dan Ahad diantarkan oleh ayah atau ibunya untuk belajar tambahan dengan senang hati. Mungkin dalam kegiatan les tersebut terdapat pemberian semacam PR. Tapi kegiatan tersebut diberikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Sudah barang tentu, kegiatan semacam itu tidak termasuk kategori PR yang akan dilarang oleh Kemdikbud.

Sedikit kesimpilan:

  1. PR tidak terlalu perlu dilaksanakan jika kegiatan di sekolah (apa saja) sudah terlalu berlebih, seperti masuk sekolah pukul 07.00 sampai pulang setelah pukul 14.00, atau bahkan lebih;
  2. PR boleh saja dilaksanakan dengan tujuan meningkatkan proses pembelajaran secara optimal;
  3. Apapun konsep yang dilaksanakan di sekolah harus dilelenggarakan secara demokratis, transparan, dan akuntabel;
  4. Jika di sekolah sudah melaksanakan program full day school dan/atau Program Penguatan Karakter (PPK) boleh jadi tidak perlu memaksakan pelaksanaan PR di sekolah;
  5. Jika sekolah memerlukan optimalisasi program atau kegiatan di sekolah, misalnya untuk menggalakkan gerakan literasi sekolah (GLS), gerakan Indonesia Membaca dan Menulis (GIMM) pelaksanaan PR dapat dipertimbangkan untuk dilaksanakan;
  6. Tidak perlu pobia terhadap pelaksanaan atau pelarangan PR (Pekerjaan Rumah) jika kebijakan tersebut untuk menerapkan konsep belajar tuntas.

Referensi

Concered Mother, Give Teachers the right to cane in Class, The Star, Wednesday, May 22, 1996.

Digumarti Bhaskara Rao (Ed), Teachers in a Changing World, New Delhi, Discovery Publishing House, 2003.

Djojonegoro, Wardiman. Fifty Years Development of Indonesian Education, Jakarta: Ministry of Education and Culture, 1995.

SMK Bisa Hebat, Edisi Gratis.

Suparlan, Tanya Jawab Pengembangan Kurikulum dan Materi Pembelajaran, Yogyakarta: 2008.

Yaumil C. Agoes Achir, Anak Indonesia Milik Siapa, Kompas, Selasa, 23 Juli 1996.

Lampiran:

Lulu
1:15 PM (6 hours ago)
to me

Komentar baru pada pos “Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dalam PP Nomor 17 Tahun 2010” Anda
Penulis: Lulu (IP: 103.36.11.238, 103.36.11.238)
Email: Khildakhumairoh12@Gmail.com
URL:
Komentar:
Assalamualaikum Wr.Wb.
Izin bertanya pak.. di Sekolah Saya Ada bayaran BIMBEL dan UN … apakah itu ada di peraturan pemerintahnya.., dn jka tidak ada apakah itu kebijakan yang tepat dri skolah. Sdangkan bnyak siswa yng tdak mampu.

Depok, 4 Oktober 2016.

1 KOMENTAR

  1. Seorang pembaca laman http://www.suparlan.com bernama Lulu 1:15 PM (6 hours ago) Email: Khildakhumairoh12@Gmail.com URL:
    Memberikan pertanyaan dan komentar tentang bimbel dan UN sebagai berikut:
    Assalamualaikum Wr.Wb.
    Izin bertanya pak.. di Sekolah Saya Ada bayaran BIMBEL dan UN … apakah itu ada di peraturan pemerintahnya.., dn jka tidak ada apakah itu kebijakan yang tepat dri skolah. Sdangkan bnyak siswa yng tdak mampu.

    Masalah bimberl tersebut menurut saya erat kaitannya dengan kebijakan tentang PR yang sekarang ini sedang hangat ingin dihapus oleh Mendikbud, karena dipandang ikut memberikan beban berat kepada siswa SD. Menurut penulis, semuanya tergantung dengan konsep mana yang akan dianut. Menurut konsep belajar tuntas yang dilaksanakan dengar benar, proses pembelajaran seharusnya memang memerlukan pembelajaran awal (ada pretes dan postes) untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil belajar peserta didik. Nah, jika KBM sudah dilaksanakan dengan konsep belajar tuntas seperti itu, maka pemberian PR memang sudah tidak diperlukan lagi. Yang diperlukan adalah pembelajaran remedial mencapai ketuntasan dalam belajar. Karena kita sering ditakutkan dengan gagasan baru yang sering tidak dilaksanakan dengan konsisten dan konsekuen, maka kita sering menjadi pobia jika menghadapi perubahan kebijakan. Padahal perubahan adalah satu keniscayaan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.