Ganjaran dan Hukuman adalah Alat Pendidikan

0
2557

 By: Suparlan *)

Dosen FKIP Universitas Tama Jagakarsa, Jakarta Selatan

Abstraksi: Masalah pendidikan boleh jadi memang terjadi tidak sekali, tapi berulang kali. Hal ini saya temukan dalam kliping yang saya buat pada tahun 1996 dan 1997. Kliping itu sudah menjadi “kitab kuning” karena warnanya yang kekuning-kuningan. Jadi belajar tentang masalah masa lalu, boleh jadai satu hal yang dapat menjadi pelajaran, agar masalah tersebut tidak kita ulangi lagi, dan kalau pun kita ulangi lagi dapat menjadi pelajaran tentang bagaimana memecahkannya. Ada 14 (empat belas) judul yang terdapat dalam kliping tersebut. Dari empat belas judul dalam kliping tersebut, banyak judul yang masih sangat relevan untuk kita jadikan sebagai acuan dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan. Kliping tersebut saya buat ketika saya masih menjadi Kepala Sekolah Indonesia Kuala Lumpur di Malaysia. Dari empat belas judul tulisan tersebut, beberapa di antaranya ternyata membahas masalah pendidikan yang baru-baru ini muncul sebagai masalah besar di Indonesia, misalnya pemukulan terhadap seorang guru SMKA Negeri II Makasar, kasus pelaksanaan hukuman di beberapa daerah lain di tanah air. Ada judul tulisan yang sangat menyentuh hati berjudul Anak Indonesia Milik Siapa? yang ditulis oleh Aumil C. Agoes Achir, seorang guru besar Fakultas Psikologi UI dan Asisten Menteri Negara Kependudukan/BKKBN. Ada lagi sebuah tulisan berjudul Delapan Puluh Lima Sekolah Bestari Beroperasi Jan. 99, yang menjelaskan tentang sejarah sekolah unggulan yang telah beroperasi sejak tahun 1999 di Malaysia. Tulisan ini akan menjelaskan tentang beberapa masalah pendidikan di Malaysia dan Indonesia, persamaan dan perbedaanya sampai saat ini (2016). Oleh karena itu, tulisan ini diberi judul Ganjaran dan Hukuman adalah Alat Pendidikan, yakni dengan mengambil salah satu judul dalam kliping tersebut, yakni Give Teachers the Right to Cane in Class, atau Berikan Para Guru Hak untuk menghukum di dalam Kelas. Kliping tersebut saya baca kembali karena ketertarikan saya dengan beberapa judul dalam kliping tersebut.

Kata-Kata Kunci: Kliping Pendidikan, masalah pendidikan, sekolah bestari, hukuman, guru.

Pendahuluan

Sebagian mahasiswa ada yang tidak tahu apa itu kliping. Saya jelaskan bahwa kliping adalah guntingan koran atau surat kabar. Saya juga tunjukkan kepada mahasiswa contoh kliping yang saya buat pada tahun 1996 dan 1997, ketika saya menjadi Kepala Sekolah Indonesia Kuala Lumpur di Malaysia selama lima tahun (1996 – 2001). Saya menunjukkan kliping itu untuk menumbuhkan rasa bangga tentang pentingnya tulisan dibandingkan ucapan. Saya tunjukkan kata-kata mutiara “When you speak, your words echo only across the room or down the hall; But you write, your words echo down the ages” (Bud Gardner). Kata-kata mutiara itu saya kutip dari tulisan Satria Dharma, seorang penulis yang suka membagi-bagikan tulisannya kepada siapa pun. Karena beliau yakin bahwa ‘book is the best gift.’ Buku adalah pemberian terbesar yang nilainya sepanjang hayat. Kliping tersebut saya tunjukkan kepada mahasiswa tersebut dengan maksud untuk meningkatkan penghargaan mahasiswa kepada dan tentang tulisan, bukan kata-kata. Dengan kliping yang sudah berwarna kekuning-kuningan tersebut mahasiswa masih dapat mempelajari konsep hukuman yang edukatif, bukan hanya dengan kekerasan terhadap anak. Bahkan penelantaran sampai dengan pembunuhan anak yang terjadi pada seorang anak yang lahir di Banyuwangi dan kemudian diadopsi, kemudian dibunuh oleh ibu angkatnya karena warisan dari bapak angkatnya. Wallahu alam.

Anak Indonesia Milik Siapa?

Judul tulisan ini ditulis oleh yang ditulis oleh Yaumil C. Agoes Achir, seorang Guru Besar Fakultas Psikologi UI dan Asisten Menteri Negara Kependudukan/BKKBN di koran Kompas pada hari Selasa, tanggal 23 Juli 1996. Mungkin penulisnya sendiri entah sudah di mana, tapi para pembaca kliping ini masih dapat mempelajari isi tulisannya, bukan hanya sekarang, tapi sampai kapan pun. Tulisan ini dapat disebut sebagai PERSUASIVE WRITING. Tulisan ini mengajak pembaca untuk mencintai anak-anak bangsa bukan hanya pewaris masa depan bangsa, tetapi jutru menjadi pemilik bangsa ini sesungguhnya. Jadi generasi tua sesungguhnya hanya meminjam pakai kepada pewaris masa depan, meminjam pakai kepada anak-anak, pemilik masa depan ini. Dengan demikian, kalau ditanyakan milik siapa anak-anak Indonesia? Maka jawabannya adalah milik kita semua. Bukan hanya milik ayah dan bundanya, tetapi pasti juga para guru yang bertugas membimbingnya.

Penelantaran dan Pembunuhan Anak

Globalisasi mempengaruhi anak Indonesia. Globalisasi tidak hanya mempengangarhi akan-anak perkotaan tetapi semuanya, termasuk anak-anak yang tinggal di pedesaan. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendorongnya. Sejak masa anak-anak tangannya telah mulai belajar memijit-mijit tombol HP dan laptop. Celakanya pengaruh negatif merambah kepada penggunaan narkoba dan zat adiktif lainnya, yang semua itu berpengaruh kepada upaya pembinaan kesejahteraan dalam keluarga. Lebih dari itu, pengaruh faktor sosial-ekonomi bepeluang besar dalam mempengaruhi kehidupan anak-anak. Tragedi penelantaran anak dan sampai dengan pembunuhan anak, tidak lain terjadi karena faktor kefakiran. Sudah diingatkan bahwa faktor kefakiran mempunyai korelasi yang sangat besar terhadap terjadinya kekafiran. Peristiwa penelantaran dan pembunuhan anak terhadap Angelina merupakan contoh yang ada di depan mata kita. Mengapa ibu dan ayah tega memberikan anaknya untuk diadopsi oleh orang yang tidak bertanggung jawab? Jawabannya adalah karena faktor kemiskinan.

The lost generation

Amerika Serikat mempunyai program yang sangat kuat untuk menangkal masalah the lost generation. Anak-anak yang tidak memperoleh pendidikan yang memadai adalah anak-anak yang akan menjadi generasi yang hilang. Itulah sebabnya Barack Obama membuat program Departemen Pendidikan di Amerika yang dikenal dengan No child left behind. Tidak ada anak yang tidak bersekolah.  Anak-anak Indonesia menghadapi masalah yang besar dalam hal ini, masalah buta aksara (usia 15 – 59 tahun) di Indonesia masih cukup besar.  Enam provinsi menduduki jumlah penduduk yang terbesar buta aksaranya.

Tabel 1: Tabel Provinsi dan Jumlah Buta Aksaranya Tahun 2015

No. Provinsi Gubernur/wakil gubernur Jumlah buta aksara
1 Provinsi Jawa Timur Sukarwo/

Sjaifullah Yusuf

1, 458.184
2 Provinsi Jawa Tengah Ganjar Pranowo/

Heru Sudjatmoko

943.683
3 Provinsi Jawa Barat Ahmad Heryawan/

Deddy Miswar

604.378
4 Provinsi Papua Lukas Enembe/

Klemen Tinal

584.441
5 Provinsi Sulawesi Selatan Syarul Yasin Limpo/

Agus Arifin Nukman

375.221
6 Provinsi NTB Muhammad Zainul Majdi

Muhammad Amin

315.258
Jumlah 5,9 juta

Sumber: Dirjen Paudni

 

Jumlah penduduk buta aksara yang besar tersebut terlihat dalam beberapa masalah pendidikan tentang fenomena anak-anak gerobak di berbagai daerah, karena anak-anak gerobak tersebut menjadi tanda mereka tidak mempu mengenyam pendidikan.

Give Teachers the Right to Cane in Class

Tulisan ini merupakan isi hati yang paling dalam dari Lim Kean Siew di Malaysia.  Tulisan ini dimuat dalam surat kabar berbahasa Inggris The Star, Wednesday, May 22, 1996. Tulisan ini menyebutkan perlunya penghargaan kepada guru. Dia mengambil contoh bahwa dalam sistem pendidikan di Amerika Serikat memberikan hak otoritas keoada guru untuk memberikan hukuman kepada siswa. Jika hak tersebut diambil maka guru akan kehilangan haknya, dan dengan demikian akan kehilangan hak otoritasnya untuk memberikan hukuman kepada siswa.  Tapi perlu diperhatikan bahwa guru harus dipebolehkan menghukum cambuk kepada siswa untuk anak-anak yang memerlukan saja yang memang telah melanggar ketentuan yang telah disepakati dengan menggunakan rotan kecil dan dilaksanakan di depan kelas dengan tujuan untuk membuat malu saja. Hukuman itu dapat diperlihatkan di depan kepala sekolahnya.

Guru harus dapat mengontrol amarahnya

 Tulisan ini ditulis oleh Liem Kean Siew, seorang yang tinggal di Penang. Beliau menyamakan bahwa jika polisi membawa senjata untuk memberikan hukuman kepada pihak yang bersalah, maka guru juga harus memiliki hak otoritas untuk menghukum peserta didik. Hak otoritas yang akan memberikan hukuman tersebut, hanya dilaksanakan kepada yang memerlukan saja dengan cambuk kecil kepada yang nakal saja. Sebagai manusia biasa perlakuan hubuman tersebut terjadi karena guru tidak dapat mengontrol kemarahannya. Jika ada anak-anak yang berbuat salah, sepatutnya dilakukan oleh pihak yang mempunyai otoritas untuk menghukum, semacam tim yang berhak untuk mengidentifikasi kesalahan yang dilakukan peserta didik dan kemudian ditentukan bagaimana cara menghukumnya. Tulisan selanjutnya adalah ditulis oleh seorang penulis yang tinggal di Petaling Jaya. Penulis adalah seorang Ibu yang peduli terhadap pendidikan. Penulis sama sekali tidak setuju untuk melaksanan hukuman di depan kelas. Akan lebih baik lagi jika Kementerian Pendidikan dalam memberikan pelatihan kepada para guru bagaimana menangani peserta didik yang berbuat kesalahan.

Delapan puluh lima Sekolah Bestari Beroperasi Bulan Januari 1999

Perlu dijelaskan bahwa Sekolah Bertari adalah Sekolah Unggulan di Malaysia. Sekolah ini sama dengan SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) dan RSBI (Rintisan Sekolah Bertararaf Internasional) di Indonesia. Menteri Pendidikan yang meresmukan sekolah bestari ini adalah Datuk Seri Najib Tun Razak. Jumlah sekolah yang ditetapkan sebagai sekolah bestari tersebut adalah 3 sekolah di Putrajaya, 4 sekolah di Pudu Hulu, 36 sekolah di Sekolah Berasrama Penuh, 14 pusat sumber elektronik, serta masing-masing 14 sekolah menengah dan sekolah rendah, yakni masing-masing 1sekolah di setiap negara bagian.

Dengan 85 sekolah bestari di seluruh Malaysia tersebut, jumlah peserta didik yang akan diterima di sekolah bestari tersebut akan dapat menerima 85.000 siswa sekolah bestari, yang setiap kelas hanya akan diisi dengan 30 siswa. Menurut Menteri Pendidikan Malaysia, pembangunan sekolah bestari tersebut telah menghabiskan RM5 juta pada tahun 1997. Untuk Sekolah Bestari tersebut Kementerian Pendidikan Malaysia telah melatih 1.750 orang pelatih teknologi informasi dan komunikasi (IT) dan mengendalikan pelatihan kepada 30.000 orang guru terlatih untuk sekolah rendah (SD) dan guru sekolah menengah (SM).

Terkait dengan pembangunan sekolah bestari tersebut, Menteri Pendidikan juga menjelaskan bahwa Pemerintah juga menyiapkan anggaran sebesar RM12 juta untk membangun laboratorium IT untuk mempersiapkan guru pelatih untuk 31 lembaga yang akan menghasilan Diploma Perguruan Malaysia bertugas untuk mengendalikan IT di laboratorium teknolgi indormasi di sekolah-sekolah bestari di Malaysia.  Inilah salah satu sasaran yang akan dihasilkan oleh mega proyek yang dikenal dengan Multimedia Super Coridor (MSC) di Malaysia.

Simpulan

Berdasarkan uraian yang telah dibahas dalam tulisan ini, beberapa simpulan dapat dipetik dalam tulisan berikut ini:

  1. Masalah penelantaran dan pembunuhan anak terutama terjadi karena era globalisasai yang diperkuat dengan masalah sosial-ekonomi masyarakat;
  2. Masalah kefakiran berkorelasi secara timbal balik dengan masalah kekafiran;
  3. Pembangunan Multimedia Super Coridor (MSC) berhasil membangun 85 sekolah bestari di seluruh Malaysia;
  4. Sebaliknya pembangunan sekolah unggulan yang dikenal dengan SBI (Sekolah Berbasis Internasional) dan RSBI (Rintisan Sekolah Berbasis Internasional) telah diberhentikan oleh Mahkaman Konstitusi. Alasan yang dikemukakan dalam media sosial antara lain adalah karena diskriminasi, yakni kurang memberikan kesempatan yang sama pada peserta didik. Konsep sekolah unggulan (SBI dan RSBI) belum dapat dihidupkan kembali;
  5. Program No Child Left Behind yang digagas oleh Barack Obama di Amerika Serikat terlaksana dengan berhasil di Amerika Serikat;
  6. Program Wajib Belajar di Indonesia telah meningkatkan APK dan APM secara signifikan di Indonesia, tapi masalah buta aksara di Indonesia masih terjadi di beberapa propinsi di Indonesia;
  7. Masalah hukuman bagi peserta didik juga dirasakan di satuan pendidikan di Malaysia; Masalah hukuman tersebut berulang kembali dalam satuan pendidikan di Indonesia dan dapat menjadi bahan pelajaran yang berharga dalam penyelenggaraan pendidikan di mana pun juga.

Referensi

Lim Kean Shew dan Concerned Mother, Give Teachers the Right to Cane in Class, The Star, Wednesday, May 22, 1996.

Marhaini Kamaruddin, Delapan Puluh Sekolah Bestari Beroperasi Jan. 99, Utusan Malaysia, Selasa, 4 Februari 1997.

Yaumil C. Agies Achir, Anak Indonesia Milik Siapa? Kompas, Selasa, 23 Juli 1996.

Depok, 15 Oktober 2016.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.