Oleh: Suparlan *)
Saya telah membuka kliping manis tulisan Saahabat Dedy Purwanto berjudul Hilangnya Dua Ilmu di Era Kemerdekaan. Saya sebut sahabat karena penulis adalah aktivis PPI se-Malaysia, Mahasiswa S2 Universiti Teknologi Petronas Malaysia. Tulisannya dimuat di Republika pada hari Rabu, 22 Agustus 2007, enam tahun setelah saya bertugas sebagai Kepala Sekolah Indonesia Kuala Lumpur (SIK). Saya kembali ke tanah air pada tahun 2001, setelah lima tahun menjadi kepala sekolah dan mencari ilmu di negeri jiran, meski tidak sampai selesai, karena harus kembali ke tanah air. Saya tidak mengikuti perkembangan sahabat yang tulisannya manis ini, apakah beliau sudah jadi guru besar di mana, atau menjabat di kantor mana. Mudah-mudahan tulisan ini dapat menyambung tali silaturahim kembali. Insya Allah Tuhan akan mempertemukan kami.
Tulisan beliau menjelaskan tentang hilangnya dua ilmu di era kemerdekaan Indonesia, setelah Indonesia mencapai kemerdekaan dalam usia tujuh puluh satu tahun. Ya Allah, ternyata tulisan beliau ini telah berusia sembilan tahun, karena tulisan beliau ditulis ketika Indonesia memperingati usia kemerdekaan ke-62. Kini usia kemerdekaan Indonesia telah mencapai 71 tahun. Benar sekali, mudah-mudahan beliau telah menjadi guru besar di mana? Mungkin saja menjadi guru besar di Universiti Teknologi Petronas Malaysia? Walau pun kita berharap mudah-mudahan tidak luntur patriotismenya. Wallahu alam.
Dalam tulisan tersebut, beliau mengajak kita untuk berfikir objektif, tentang penyebab maraknya perilaku korupsi di tanah air. Dari kalangan rakyat kecil sampai dengan pejabat tinggi telah terimbas perilaku korupsi. Dalam ceramahnya di Hari Kemerdekaan Malaysia pada tanggal 13 Agustus 2007 di Universiti Teknologi Petronas, Malaysia, mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Muhammad menyampaikan bahwa korupsi telah menjadi budaya dan hal yang biasa di ‘negara-negara tertentu.’ Walaupun secara samar beliau tidak menunjuk tangan kepada negara mana yang dimaksudkan, sahabat ini merasakan bahwa negara yang dimaksud adalah negara kita tercinta Indonesia. Mahathir Muhammad mengingatkan bahwa negara tidak akan maju jika dipimpin oleh para koruptor. Hal ini persis sama dengan tulisan yang telah saya unggah dalam laman pribadi www.suparlan.com dan diportal masdik.com yang saya sebutkan bahwa Indonesia tidak akan menjadi negara yang maju jika tidak dipimpin oleh pemimpin yang jujur. Bahkan setelah saya buka-buka 45 butir pengamalan Pancasila, ternyata butir tersebut tidak tertuang di dalamnya. Mungkin hal tersebut terdapat kekhilafan atau malah kesengajaan?. Marilah kita objetif dan perbaiki jika memang kata JUJUR tersebut memang benar-benar tidak tertuang dalam dokumen penting negara Indonesia. Marilah kita tuangkan kembali di dalamnya. Bukan hanya sibuk dengan pilar-pilar kebangsaan dan melupakan pengamalan nilai-nilai Pancasila dan hanya menuliskannya hanya sebagai simbul, tetapi kurang mengamalkannya dalam kehidupan.
Kedua ilmu yang hilang itu adalah ILMU KAULIYAH dan ILMU KAUNIYAH. Allahu Akbar. Mudah-mudahan tulisan ini dibaca oleh sahabat saya yang lain, yakni Satria Dharma, yang kini berkiprah dalam pendirian beberapa STIKOM di beberapa daerah. Sahabat yang satu ini juga menulis tentang hal yang sama, yakni tentang hilangnya dua ilmu tersebut. Dalam tulisan tersebut, beliau menjelaskan bahwa Ilmu Kauliyah adalah adalah ilmu tertulis yang langsung bersumber dari Tuhan yaitu Alquran dan Hadis Nabi. Menurutnya, dalam hal ini, Malaysia yang mendeklarasikan dirinya sebagai negara Islam masih memegang kuat ilmu ini dan rata-rata masyarakatnya pun lebih mematuhi perintah-Nya dibandingkan dengan masyarakat Indonesia. Di sekolah-sekolahn serta instansi publik dan pemerintah, bisa dilihat bagaimana cara mereka berpakaian. Mereka masih sangat mencintai budaya Melayu yang sangat dekat dengan budaya Islam. Sehingga kesantunan dan moral pun lebih berwarna di negeri ini. Tampaknya rahmat Allah pun lebih melimpah di Malaysia seiring dengan tetap dipegangnya kecintaan negara dan masyarakatnya terhadap Islam, bangsa dan negaranya.
Ilmu yang kedua adalah Ilmu Kauniyah, yaitu ilmu bersumber dari Allah dan ‘tertulis dalam alam semesta atau dalam Bahasa Minang disebut sebaga ‘alam takambang’ seperti daratan, laut, manusia dan mahluk lainnya hingga alam di luar angkasa. Umat manusia juga harus menyadari bahwa ilmu ini pun juga menjadi kewajiban untuk dipelajari dan diamalkan. Dalam hal ini, negara-negara Barat menjadi lebih maju dalam bidang teknologi dan ekonominya karena ilmu ini benar-benar mereka kuasai. Nilai-nilai positif seperti disiplin, good governance yang bersumber dari akal ciptaan Tuhan pun mereka kuasai. Pilar-pilar nilai pendidikan moral dikuasai secara utuh, termasuk budaya literasi yang sekarang ini dirasakan menjadi terbelakang, bahkan sastrawan beken Taufik Ismaik merasakan kehilangan ilmu kauniyah ini dengan menyebutnya sebagai tragedi NOL BUKU. Penggiat Gerakan Literasi Sekolah, Satria Dharma juga mengingatkan untuk menggalakkan budaya literasi dengan meningkatkan budaya membaca, menambah koleksi perpustakaan, dan lebih penting adalah menggalakkan budaya membaca. Aktivis budaya membaca mengingatkan bahwa ‘buku memang menjadi gubang ilmu, tetapi yang terpenting adalah membaca sebagai kuncinya.
Kecemasan kita tentang hilangnya kedua ilmu tersebut sebenarnya memiliki korelasi dengan rendahnya minat baca di negeri ini. Kemampuan baca anak-anak SD di Indonesia ternyata tertinggal dengan anak-anak SD di Vietnam. Indonesia tidak hanya mempunyai HDI (Human Development Index) yang berada di urutan 110 dari 175 negara, tetapi berdasarkan hasil penelitian Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pada 2013 menempatkan Indonesia sebagai negara peringkat kedua paling inovatif dalam bidang pendidikan di dunia. Dalam hal inovasi pendidikan, Indonesia di belakang Denmark yang berada di peringkat pertama, tapi mengalahkan negara maju, seperti Korea Selatan, Singapura, Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat.
Inovasi pendidikan ini meliputi kemampuan penggunaan buku teks dan penerapan sistem pembelajaran yang terkait dengan kehidupan sehari-hari. Namun, peringkat OECD ini kontras dengan hasil penelitian yang dilakukan Programme for International Student Assesment (PISA) setahun sebelumya yang menempatkan Indonesia di peringkat kedua terbawah dalam hal kemampuan matematika dan ilmu sains.
Indonesia berada di urutan 64 dari 65 negara yang disurvei. Di level ASEAN, Indonesia kalah jauh dari Vietnam yang menempati urutan ke-20. PISA juga menempatkan Indonesia di nomor 57 dari 65 negara yang diteliti dalam hal kemampuan membaca siswa.
Data statistik UNESCO pada 2012 juga menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, dari 1.000 penduduk, hanya satu warga yang tertarik untuk membaca. Menurut indeks pembangunan pendidikan UNESCO ini, Indonesia berada di nomor 69 dari 127 negara. Angka ini tentu sangat menyedihkan.
Keprihatinan kita makin bertambah jika melihat data UNDP yang menyebutkan angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen. Sebagai pembanding, di Malaysia angka melek hurufnya 86,4 persen. Korelasi yang harus menjadi bahan pelajaran bagi Indonesia adalah telah lahirnya ‘NGELMU KLENIK’ yang nota bene semakin menjauhkan terhadap Ilmu Kauniah, tetapi juga semakin rendahnya kesadaran masyarakat tentang Ilmu Kauliyah. Dalam tulisannya tersebut Aktivis PPI se-Malaysia ini memberi ketimpulan bahwa negeri tercinta ini mengalami kondisi tidak hanya Ilmu Kauliyah tidak lagi di tangan, tetapi Ilmu Kauniah pun juga melayang, bahkan menjamurnya Ngelmu Klenik.
Sumber:
Masdik.com.
Republika, Rabu, 22 Agustus 2007;
Depok, 16 Oktober 2016.