Oleh: Suparlan *)
Seorang anggota Dewan Pendidikan Kabupaten Sumenep menulis di media komunikasinya bertajuk “Mengantarkan Perpustakaan di Ruang Kelas.” Konsep baru peningkatan budaya literasi untuk GLS. Tajuk tulisan tersebut saya ubah menjadi “Menyediakan Perpustakaan di Ruang Kelas.” Alasannya agar menu bacaan yang hebat tersebut segera dapat dilahap oleh peserta didik. Benar, peserta didik adalah raja. Sekolah dan gurunya dan pemangku kepentingan sekolah memang harus dapat memberikan layanan pendidikan yang diharapkan. Itulah sebabnya fungsi Dewan Pendidikan adalah membantu upaya peningkatan mutu pelayanan pendidikan. Pas bukan?
MASALAH. Masalah yang dihadapi oleh proses peningkatan mutu pelayanan pendidikan di sekolah adalah rendahnya minat baca peserta didik. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, dalam pertemuan KOORDINASI dan SINERGI (berasal dari kata sincronization atau penyatuan energy atau kekuatan) antara Kemdikbud dengan perguruan tinggi di tanah air dan tiga kementerian yang mendukung GLS (gerakan literasi sekolah). Tiga kementerian itu adalah (1) Kementerian Agama, (2) Kementerian Dalam Negeri, dan (3) Kementerian Perhubungan. Ketiga kementerian tersebut diharapkan akan bersama-sama mendongkrak multilirasi di Indonesia. Bukan hanya literasi dalam aspek keaksaraan, tetapi sebagai MULTI LITERASI, artinya termasuk melek calistung, sains, teknologi informasi, komunikasi, kultural, bahkan juga literasi dalam keselamatan jalan.[1]
Kembali kepada masalah rendahnya minat baca itulah yang telah mendorong kelahiran GLS tersebut. Malah Taufik Ismail, sastrawan kawakan telah lama mengingatkan tentang tragedi NOL BUKU di negeri ini. Masalah rendahnya minat baca tersebut, dan rendahnya mutu pendidikan di tanah air tersebut, menurut Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Hamid Muhamad, ternyata malah telah menjadikan satu kenikmatan tersendiri, karena hanya sering menjadi bahan pembahasan dalam diskusi atau kegiatan koordinasi dan singkronisasi seperti ini.
Untuk tidak menjadikan satu kenikmatan tersendiri, sebenarnya Indonesia tidak kekurangan konsep, termasuk konsep untuk meningkatkan budaya sekolah. Malahan, banyak konsep yang sekarang ini sedang dikaji kembali untuk ditetapkan kembali menjadi kebijakan pendidikan yang lebih mantap. Misalnya, konsep yang baru saja disampaikan oleh Mendikbud Muhadjir Effendie baru-baru ini, misalnya FULL DAY SCHOOL, konsep PENDIDIKAN BERBASIS KARAKTER atau PPK (Penguatan Pendidikan Karakter), bahkan konsep LINKS AND MATCH yang justru telah diluncurkan pada tahun 1995 oleh Wardiman Djojonegoro, termasuk konsep SEKOLAH UNGGULAN, yang telah “dibunuh” oleh Mahkamah Konstitusi, karena alasan diskriminasi. Padahal diskriminasi memang harus dihilangkan, tapi tanpa harus membunuh konsep sekolah unggulannya. Buktinya, Malaysia tetap dapat menghidipkan SEKOLAH BESTARI atau SMART SCHOOL. Indonesia sebenarnya tidak kekurangan konsep, yang kurang adalah kolaborasi dalam penerapannya secara konsisten dan konsekuen. Saya jadi ingat kata mutiara “we are not looking for a superman, buat we are looking for a super team.” Kita tidak perlu superman, tapi kita perlu supertim.
Kembali ke konsep PEMBUDAYAAN LITERASI, seorang anggota dewan pendidikan Kabupaten Sumenep telah menulis di media komunikasi Dewan Pendidikan Kabupaten Sumenep bertajuk “Menyediakan PERPUSTAKAAN di Ruang Kelas”. Apakah maksudnya? Apakah tujuannya, dan bagaimanakah cara untuk melaksanakannya? Tulisan ini akan menjelaskan konsep tersebut secara singkat.
PERTAMA, para siswa enggan masuk ke perpustakaan, karena berbagai sebab, misalnya buku koleksinya hanya itu-itu saja, dan isi bukunya memang tidak menarik, dan sebab lainnya.
KEDUA, untuk mengatasi masalah tersebut maka PUSTAKAWAN SEKOLAH, atau GURU, atau siapapun harus dapat menyusun TULISAN SINGKAT YANG MENARIK yang DISEDIAKAN di perpustakaan. Tulisan tersebut panjangnya antara 600-700 kata, dan dapat dibaca antara 3 – 5 menit secara bersama-sama di ruang kelas, atau dibaca dengan MEMPRAKTIKKAN model SILENT READING (MEMBACA SENYAP) ketika peserta didik yang lain sedang belajar.
KETIGA, tulisan pendek itulah yang akan disediakan di RUANG KELAS untuk menjadi MENU BACAAN untuk kegiatan membaca selama 15 menit, pada setiap awal pelajaran. Proses membaca inilah yang dimaksud PEMBIASAAN, yang pada tahap selanjutnya akan diteruskan dengan PROSES PENGEMBANGAN, dan seterusnya menjadi PROSES PEMBELAJARAN yang sesungguhnya.
KEEMPAT, sebagai penutup tulisan ini, seperti inilah yang perlu lebih banyak tersedia di RUANG KELAS, tersedia di RADING CORNER (POJOK BACA) di sekolah. Pada akhir tulisan singkat tersebut jangan lupa ditutup dengan KAMUS SINGKAT untuk menjelaskan kata-kata yang sukit seperti berikut:
Library | : perpustakaan | GLS | : gerakan literasi sekolah |
Lbrarian | : pustakawan | GIMM | : gerakan Indonesia membaca dan menulis |
Ful day school | : sekolah satu hari penuh | PPK | : penguatan pendidikan karakter |
Multi literasi | : banyak kemampuan baca tulis, sais, teknologi, finansial, keselaman di jalan | Habitation | : pembiasaan |
Reading corner | : pojok baca | Silent reading | : membaca senyap |
Menu bacaan | : bahan bacaan yang tersaji | NOL BUKU | : tidak pernah baca buku |
Smart school | : sekolah pintar | Sekolah bestari | : sekolah pintar |
………………….. | ……………………… | ………………………… | ………………………… |
Jumlah font tulisan ini : 739 kata.
*) Laman: www.suprlan.com; surel: me@suparlan.com; portal: MASDIK.COM.
[1] Pangesti Wiedarti, Dukungan Lima Departemen Bagi Pengembangan GLS Kemendikbud, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, 2016, hal. 2.