Membangun Tradisi Diskusi Sembari Minum Kopi

0
1208
71

 


Oleh:  Suparlan *)

Ketika bertugas ke Pulau Belitung, saya mendengar informasi bahwa pentolan PKI, DN Aidit, telah lahir di pulau ini. Informasi berikutnya, sebagai tokoh politik, pentolan politik ini telah membangun tradisi minum kopi untuk acara diskusi tentang masalah-masalah politik di daerah ini. Sebagai penulis, saya mencoba mencari-cari korelasi informasi tersebut dengan berbagai hal dengan masalah kekinian yang sedang marak di negeri ini, terutama sebagai bahan pembelajaran. Misalnya, pentingnya tradisi diskusi sembari acara minum kopi yang memasyarakat di daerah ini. Boleh jadi, kemampuan mantan bupati Belitung tersebut, boleh menjadi produk tradisi diskusi sembari minum kopi ini.

Diskusi memang menjadi tradisi yang dianjurkan dalam dunia ilmu pengetahuan dan pendidikan. Paradigma baru pembelajaran yang kini dikenal adalah bukan berpusat pada guru, tapi berpusat pada siswa (student centered learning), dan bukan teacheres’centered learning. Pendekatan pembelajaran yang kini dikenal adalah PAKEM (pembelajaran aktif kreatif, efektif, dan menyenangkan) atau dikenal juga dengan SAL (student active learning) atau JAL (joyfull active learning). Berfikir kritis (critical thinking) memang sangat dianjurkan dalam dunia ilmu pengetahuan. Bahkan agama pun menganjurkan umatnya untuk senantiasa berfikir dan berfikir. Oleh karena itu, membangun tradisi diskusi sudah sepatutnya ditingkatkan menjadi budaya dalam kehidupan manusia, karena manusia adalah diciptakan sebagai mahluk tertinggi derajatnya. Ketinggian derajat manusia ditentukan oleh karena menggunakan akal sehatnya. Insya Allah,

Fenomena Taat Pribadi

Diskusi tentang Fenomena Taat Pribadi yang diadakan oleh Bung Karni Ilyas dalam acara ILC (Indonesian Lowyer Club) sangat penting untuk pembelajaran masyarakat. Program yang dipandu oleh Karni Ilyas itu tadi malam menghadirkan sejumlah tokoh agama, tokoh politik, pakar hukum, dan tokoh masyarakat lainnya. Hadir dalam acara tersebut anggota Komisi III DPR RI Akbar Faisal, mantan Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi, Azyumardi Azra, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, serta sejumlah tokoh lainnya. Tokoh yang mendukung Taat Pribadi seperti menunjukkan bahasa tubuh KO dalam diskusi terbuka tersebut, meski pada awalnya dengan nada tinggi sempat adu argumentasi dengan Mahfud MD. Kita tunggu saja proses dan hasilnya.

Diskusi terbuka ini sangat penting, karena telah membuka mata dan membuka telinga tentang penyakit masyarakat tersebut sebagaimana telah dijelaskan oleh KH Hasyim Muzadi. Hasil diskusi ini telah menunjukan dengan jelas bahwa masyarakat Indonesia saat ini memang benar-benar telah mengalami sakit jiwa. Demikian penjelasan yang disampaikan oleh Hasyim Muzadi yang menjadi narasumber dalam acara tersebut. Masyarakat kelas bawah telah bekerja sekuat tenaga dengan segala cara untuk mengumpulkan duit, termasuk ikut menggandakan uang yang dijanjikan oleh geng Taat Pribadi. Tak peduli cara yang dilakukan apakah telah melanggar hukum dan kemanusiaan. Masyarakat kelas menengah berusaha untuk membangun kolaborasi untuk dapat mengajak masyatakat kelas di bawahnya untuk melancarkan usaha dan strateginya dalam mengumpulkan duit. Masyarakat kelas atas lebih-lebih lagi. Masyarakat kelas tinggi ini memiliki akses yang tinggi untuk berusaha dapat  melakukan perilaku koruptif dengan segala bentuknya. Tidak puas dengan mengeruk satu gunung kekayaan, secara serakah akan terus mengeruk gunung yang lainnya, dan tak akan pernah berhenti. Dengan demikian, maka sesungguhnya penyakit masyarakat pada saat ini adalah duit dan duit. Penyakit masyarakat ini akan terus berjangkit, ibarat penyakit menahun. Oleh karena itu jangan heran jika penyakit ini bisa terjadi di berbagai tempat. Selain itu, ada pernyataan yang menarik dari KH Hasyim Muzadi, yang mempertanyakan mengapa masyarakat yang tertarik dengan fenomena Taat Pribadi tersebut adalah karena faktor ekonomi. Hal ini dapat difahami kaitan antara faktor ekonomi atau faktor kefakiran dengan faktor kekufuran.

Itulah sebabnya, maka peristiwa penelantaran anak dan pembunuhan anak yan terjadi di Kabupaten Banyuwangi, yang disiarkan dalam acara ILC, merupakan dampak kefakiran tersebut. Peritiwa itu adalah penelantaran seorang anak wanita bernama Angeline, anak berusia 8 tahun yang dikubur di halaman rumah Ibu angkatnya, Margriet Christina Megawe adalah dampak dari kefakiran. Inilah salah satu tragedi yang mengenaskan di negeri tercinta ini. Kejadian ini telah dibahas tuntas dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) di TV One tanggal 25 Juni 2015.

Begitu miris ketika mengikuti acara itu, terlebih ketika mengikuti uraian Ibu Khofifah dan kemudian diteruskan dengan ungkapan hati Ibu Ratna Sarumpait terkait dengan masalah kemiskinan di negeri ini. Saya melihat hal yang aneh ketika kamera televisi yang menyorotkan kamera ke arah Menteri Sosial, Ibu Kofifah, secara bergantian dengan arah Ibu Ratna Sarumpait. Seakan ada sesuatu yang perlu dideskripsikan untuk menjelaskan apa yang tersirat di dalamnya. Ya, kita telah membaca di media sosial, bahwa Ibu Kofifah telah menghadiri pemakaman Angeline di TPU Desa Tegalrejo, Kecamatan Glenmore, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, pada hari Selasa malam. Pada kesempatan itu, Ibu Khofifah juga telah memberikan sumbangan dari negara untuk keluarga Angeline sebesar lima belas juta rupiah. Proses pemakaman anak usia delapan tahun itu telah memperloleh sambutan luar biasa dari masyarakat Banyuwangi khususnya, termasuk Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas. Umat banyak menyayangkan terjadinya korban “kefakiran-kekafiran” tersebut. Ungkapan tentang kemiskinan menyebabkan kekafiran dengan mengutip Hadist pun telah diungkapkan oleh Bang Karni untuk menutup acara ILC tersebut.

Satu-Satunya Kawan Setia

Setiap penyakit ada obatnya. Demikian juga dengan penyakit masyarakat. Tradisi diskusi tentang berbagai penyakit masyarakat tersebut secara terbuka perlu dijadikan bahan untuk menyembuhkan penyakit masyarakat. Tradisi dan budaya diskusi hendaknya dapat dijadikan untuk membuka mata bahwa dampak kemiskinan masyarakat menjadi penyebab utama terjadinya kekafiran. Lebih dari itu, kemiskinan masyarakatan menjadi penyebab utama terjadinya kebohohan masyarakat. Meskipun harus difahami bahwa kebodohan masyarakat tidak selalu terkait dengan gelar dan kualifikasi akademisnya, karena kecerdasan masyarakat yang paling tinggi adalah kecerdasan spiritualnya yang akan menjawab pertanyaan untuk apa kita lahir dan apa yang harus kita pertanggungjawabkan kepada-Nya. Kita akan kembali ke hadirat-Nya, yang akan diantar oleh (1) kawan dan handai taulan, (2) harta, dan (3) amal ibadah kita. Namun pada akhirnya yang akan menemani kita pada akhirnya hanyalah amal ibadah kita semata. Sedangkan yang lain akan segera meninggalkan kita sendirian untuk kemudian kita harus mempertanggunjawabkan kepada-Nya.

Font: 958

Laman: www.suparlan.com; E-mail: me@suparlan.com; Portal: masdik.com;

Depok, 3 Januari 2017.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.