Membaca (Iqra’)

0
2326
Indonesia Membaca
Indonesia Membaca

 

***

Ikatlah ilmu dengan menuliskannya (Sayyidina Ali RA)

Tulisan singkat ini bermula dari Kajian Islam di Masjid Al-Mujahidin Taman Depok Permai, Kota Depok, masjid di dekat rumah penulis. Ustadz menjelaskan tentang pentingnya kegiatan Kajian Islam bagi para jamaah, Maklum jumlah jamaah yang mengikuti kegiatan ini tidak beranjak dari jumlah jari-jari tangan kita. Padahal meteri kajiannya sangat bagus, yakni Riyadussalihin. Wallahu alam mengapa jumlah jamaah yang mengikuti kajian tidak pernah bertambah. DKM (Dewan Kemakmuran Masjid) belum menemukan jalan keluarnya. Tentu keadaan ini membuat bertanya mengapa? Ustadz menjelaskan bahwa membaca itu hukumnya sunnah. Kajian hukumnya wajib. Pernyataan Ustadz ini membuat otak ini berputar tujuh keliling. Benarkah pernyataan Ustadz ini? Padahal saya ingat kata-kata mutiara ilmuwan Islam Al-Ghazali yang menyatakan bahwa “Buku adalah gudang ilmu, dan membaca adalah kuncinya”. Bagaimana dengan makna iqra’ dalam Surat Al-Alaq? Ustadz pun segera menjelaskan bahwa iqra’ itu sebenarnya bermakna membaca untuk maksud sebagai kajian. Bukan hanya membaca, dalam sekedar melapalkan kata demi kata. Nah, legalah hati ini, karena ayat Kauliyah dalam Al-Quran ternyata memiliki makna yang sama dengan ayat Kauniyah. Ayat Kauniyah adalah ayat-ayat yang diperoleh manusia dari alam terbentang (alam takambang, Bahasa Minang). Bahkan ayat Kauniyah tentang membaca ini saya temukan dari pendapat Paulo Freire. Maaf Paulo Freire tentunya adalah seorang nonmuslim, tokoh pendidikan dari Brazil, yang menulis buku bertajuk Education of the Oppressed atau Pendidikan Yang Membebaskan. Menurutnya, “Reading is not walking on the words, but it is grasping the soul of them”. Membaca adalah bukan hanya berjalan (meniti) di atas kata-kata, tetapi membaca adalah menangkap jiwanya. Inilah ayat Kauniyah dari Paulo Freire yang saya temukan dari internet. Tentulah, internet memiliki kandungan positif dan negatifnya. Tinggal kita yang memilihnya. Membuka internet dalam abad ke-21, era teknologi informasi dan komunikasi (TIK), sekarang ini menjadi keniscayaan. Jika kita menafikan internet, tentu menjadi hal yang sangat aneh. Kandungan yang positif, sudah barang tentu akan merupakan ayat-ayat Kauniyah yang mendukung ayat-ayat Kauliyah, seperti ayat tentang membaca tersebut.

Benar sekali dengan program yang telah dicanangkan program GLS (Gerakan Literasi Sekolah) oleh Mendikbud Anies Baswedan, dengan membaca buku nonteks lima belas menit sebelum pelajaran dimulai. Karena hal itu merupakan upaya strategis untuk menggalakkan budaya literasi atau budaya calistung (baca tulis hitung). Literasi bukan hanya budaya membaca saja. Termasuk di dalamnya adalah budaya menulis, budaya menggambar, budaya berhitung, dan semuanya yang termasuk kegiatan scientific analysis atau analisis saintifik dalam dunia ilmu pengetahuan, seperti 1) menemukan masalah, 2) mengumpulkan data, 3) analisis data, dan 4) mengambil kesimpulan dari proses analisis tersebut. Persis dengan kegiatan kajian seperti yang dijelaskan oleh Ustadz. Dengan proses kajian tersebut, peserta didik tidak seharusnya hanya dibiasakan menghafalkan kata saja, tetapi yang lebih penting adalah memahaminya. Oleh karena itu, memang bagus jika kita dapat menghafal Al-Quran, tetapi bukan hanya sampai di situ. Harus dilanjutkan dengan proses pemahaman sampai penerapannya dalam kehidupan. Semua itu kita harus membaca (iqra’) menurut Al-Quran, atau reading menurut Paulo Freire. Tidak bermaksud menyamakan Al-Quran dengan Paulo Freire. Karena Al-Quran adalah ayat qauliyah yang kebenarannya pasti dan abadi. Sedang definisi reading menurut Paulo Freire adalah ayat kauniyah, yang kebenaranya harus dibuktikan melalui penelitian. Dengan demikian, kembali kita fahami bahwa ayat-ayat Kauniyah yang benar harus selaras dengan ayat-ayat Kauliyah. Kebenaran ayat-ayat Kauliyah adalah mutlak.

Membudayakan literasi, atau membudayakan iqra’ harus melalui pembiasaan sejak dini, melalui proses keteladanan. Peserta didik mustahil akan memiliki budaya membaca jika tidak melalui keteladanan oleh orang tua, guru, dan pemimpin masyarakat di sekitarnya. Sama persis dengan budaya salat bagi anak-anak kita. Orang tua menyuruh salat anak-anaknya, sementara orang tua sendiri tidak melakukannya. Mungkinkah? Padahal kata-kata mutiara mengatakan “lakukan apa yang Anda katakan”. Jangan pernah mengatakan tentang apa yang tidak Anda lakukan.

Sebagai gambaran tentang peningkatan budaya literasi di sekolah, Kepala Sekolah SD Negeri Pondok Labu 3 Serpong menjelaskan tentang kegiatan Komite Sekolah yang telah memperoleh bantuan dari Perusahaan X, sekian eksemplar buku untuk menambah koleksi perpustakaan sekolah. Tentu saja hal ini sangat baik. Namun akan lebih baik lagi, jika Komite Sekolah dapat menggalakkan kegiatan infaq buku dari orang tua peserta didik. Lebih bagus lagi jika buku yang diinfaqkan tersebut telah dibaca terlebih dahulu di rumahnya bersama anak-anaknya. Silent reading (membaca senyap) telah menjadi kebiasaan membaca di rumah tangga. Bahkan akan lebih bagus lagi ada sebagian orang tua peserta didik yang dapat menulis resensi buku yang telah dibacanya. Kemudian ada yang menceritakan resensi tersebut di depan peserta didik. Jika budaya membaca tersebut telah dilakukan oleh semua pemangku kepentingan di sekolah, insyaallah budaya literasi akan menjadi bangsa tercinta ini.

Kegiatan membaca lima belas menit pada awal pelajaran sebagai appersepsi harus dilaksanakan sebagai gerakan. Gerakan ini harus diteruskan oleh semua pemangku kepentingan sekolah, termasuk Komite Sekolah dan warga masyarakat di sekitar sekolah. Sebagai penutup tulisan singkat ini, isya Allah penulis adalah menulis tentang konsep CCES (California Center for Effective School), yang menjelaskan tujuh pilar sekolah efektif. Untuk meningkatkan budaya literasi di sekolah, khususnya budaya membaca yang sudah dimulai dengan membaca lima belas menit pada awal pelajaran, tujuh pilar tersebut tentu saja harus diterapkan di sekolah untuk membangun sekolah yang berhasil (efektif). Dalam hal kajian Islam di masjid-masing GLS harus lebih digalakkan, mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Baik jumlah maupun kualitasnya. Bukan hanya dengan mendengarkannya, tetapi ditambah dengan menuliskannya. Untuk meningkatkan budaya membaca ini, Masjid Al-Mujahidin Alhamdulillah telah memiliki infocus, dan insya Allah akan dipasang WIFI untuk internet dan meggunakan laptop?

 

Depok, 29 Agustus 2015.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.