Rancangan Permendikbud tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah

0
7164
Dewan Pendidikan Nasional
Dewan Pendidikan Nasional

Oleh: Suparlan *)

 

NKRI diproklamasikan oleh para pendiri republik (the founding fathers) sebagai negara kesatuan. Bukan negara serikat. Sistem pemerintahan negara Indonesia menganut azas desentralisasi, bukan sentralisasi. Sistem pemerintahan negara Indonesia juga menganut azas demokrasi, bukan otokrasi, apa lagi teokrasi.

Sekedar mengingatkan agar tetap ingat bahwa Indonesia adalah satu negara yang besar, Indonesia berada di 5 pulau besar: Sumatra, Jawa, Kalimantan (dibagi dengan Malaysia dan Brunei), Sulawesi, Irian (dibagi dengan PNG). Di masa akhir orde baru, kita punya 27 provinsi. Lalu lepas satu, yaitu Timor Timur. Namun setelah reformasi bertambah 8 menjadi 34 provinsi. Berarti ada 8 kota yang sejak masa reformasi menjadi ibukota provinsi baru, yaitu: Tanjung Pinang (Kepulauan Riau), Pangkal Pinang (Bangka Belitung), Serang (Banten), Tanjung Selor (Kalimantan Utara), Gorontalo (Gorontalo), Mamuju (Sulawesi Barat), Sofifi (Maluku Utara), Manokwari (Papua Barat). Alhamdulillah.

Jumlah kabupaten di Indonesia, secara total ada 412, sedangkan jumlah kota ada 93 (data tahun 2013). Itu belum termasuk 5 kota dan 1 kabupaten administratif di DKI Jakarta. Itu berarti secara total kita punya 539 posisi kepala daerah yang mesti dipilih tiap 5 tahun. Jika biaya pilkada asumsinya hanya butuh 200 juta saja (ngimpi aja), berarti tiap 5 tahun ‘hanya’ butuh sekitar 100 milyaran saja, atau 20 milyaran jika dibagi rata tiap tahun.

Data tersebut selaras dengan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, disebutkan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas daerah Kabupaten dan daerah Kota, yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.” Dengan sistem pemerintahan yang demikian, Indonesia meliputi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, terdiri atas wilayah negara yang sangat luas, lengkap dengan keanekaragaman, baik secara fisik maupuan sosial budaya untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan. Pelaksana urusan Pemerintahan dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pelaksana urusan pemerintahan itulah yang dikenal dengan birokrat atau pelaksana urusan pemerintahan atau dikenal dengan eksekutif.

Dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, khususnya dalam pengelolaan dan penyelenggaraan sistem pendidikan nasional, pemerintahan Indonesia dilaksanakan dengan tiga prinsip demokratis, transparansi, dan akuntabilitas publik. Tiga prinsip inilah yang melahirkan desentralisasi pemerintahan atau desentralisasi penyelenggaraan pendidikan. Oleh karena itu, desentralisasi pendidikan inilah yang kalau ditelusuri sejarahnya telah melahirkan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Keberadaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah sesungguhnya memperkuat birokrasi dan pelaksanaan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan di negeri tercinta Indonesia. Birokrasi dan Dewan Pendidikan ibarat suami istri yang saling mengisi, ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan

Sejarah Pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah

Sejarah kelahiran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah berdasarkan:

  1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1999. Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah ini memberikan kewenangan kepada daerah untuk ikut terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Bukan hanya dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, tetapi juga oleh Pemerintah Daerah.
  1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, yang programnya adalah pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Salah satu program Pendidikan Menengah adalah:

“terwujudnya manajemen pendidikan yang berbasis sekolah/madrasah (school communita based management) dengan mengenalkan konsep dan merintis pembentukan Dewan Pendidikan di setiap kabupaten/kota serta pemberdayaan atau pembentukan Komite sekolah di seluruh SD dan MI serta SLTP dan MTs.”

Kelahiran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah terkait dengan konsep demokratisasi dan desentralisasi pendidikan. Hal ini tertuang dalam kegiatan pokok dalam upaya peningkatan manajemen pendidikan menengah sebagai berikut:

“melaksanakan demokratisasi dan desentralisasai pendidikan  antara lain dengan pembentukan dan peningkatan peranan Komite Sekolah meliputi perencanaan, implementasi, dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan di sekolah, serta mendorong daerah untuk melaksanakan rintisan penerapan konsep pembentukan Dewan Sekolah.”

Keberadaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dalam Propenas (Program Pembangunan Nasional) tersebut muncuk karena mendapatkan persetujuan dari Komisi IX DPR, yang membidangi Pendidikan. Persetujuan tersebut diperoleh setelah Drs. Agus Raharjo, MA, Direktur Agama dan Pendidikan Bappenas memberikan presentase tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.

Setelah persetujuan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah tersebut, akhirnya Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah memperoleh tempat dalam kerangka Jaring Pengaman Sosial (JPS) dengan menggunakan konsep “pemberdayaan/peningkatan peran.” Uji publik tentang Dewan Pendidikan dan dan Komite Sekolah melalui JPS (jaring pengaman sosial) memperoleh dukungan positif dari masyarakat sebagai berikut:

Pertama, mengubah nama Dewan Sekolah menjadi Dewan Pendidikan;

Kedua, merekomendasikan pertlunya segera diterbitkan regulasi tentang pembentukan Dewan Pendidikan;

Dukungan itulah yang akhirnya telah melahirkan pasal-pasal dan ayat-ayat dalam Kepemendiknas Nomor 044/U/2002 ke dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal-pasal dan ayat-ayat dalam Undang-Undang tendang Sistem Pendidikan Nasional itulah yang mengamanatkan terbentuknya Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Pasal 56 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional kemudian dijabarkan ke dalam PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, yang sebenarnya terbit terlambat selama tujuh tahun. Namun proses pembentukan Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota dan Dewan Pendidikan Provinsi terus berjalan.  Sekretariat Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah telah memberikan dana fasilitasi pembentukan Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota untuk membentuk Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota, termasuk memberikan dana kepada tim fasilitasi pembentukan Dewan Pendidikan Provinsi kepada Dinas Pendidikan Provinsi. Sampai saat ini, seluruh Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota di Indonesia, termasuk daerah kabupaten pemekaran telah terbentuk Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota. Tinggal 8 (delapan) provinsi yang belum membentuk Dewan Pendidikan Provinsi. Bahkan seluruh sekolah, baik negeri maupun swasta telah terbentuk Komite Sekolah/Madrasah.

  1. PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan mengamanatkan tentang pembentukan Dewan Pendidikan Nasional (DPN). Namun sampai dengan Bulan Oktober 2016 ini, proses pembentukan DPN tersebut belum berhasil membentuk Dewan Pendidikan Nasional. Sayang sekali amanat pembentukan Dewan Pendidikan Nasional belum dapat dipenuhi sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku. Untuk ini lembaga profesi guru PGRI, dan praktisi pendidikan Doni Koesoemo A[1] telah memberikan perhatian agar pembentukan Dewan Pendidikan sebagai lembaga Ad Hock dalam bidang pendidikan dapat segera terbentuk.
  1. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan penerbitan Peraturan Mendikbud tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Tulisan tentang Sejarah Pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah ini disusun sebagai bahan untuk penyusunan Rancangan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayan (RPM). PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan belum dijabarkan ke dalam Permendikbud. Ada yang berpendapat karena PP tersebut sudah sangat banyak pasal-pasal dan ayat-ayatnya, dan oleh karena itu sudah dapat dilaksanakan dalam penyelenggaraan pendidikan. Tidak perlu dijabarkan ke dalam Permendikbud lagi. Namun kenyataannya di lapangan memang dirasakan perlunya beberapa penjelasan yang lebih kongkrit:
  1. Nama yang sifatnya GENERIK, misalnya Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang perlu dijelaskan mengapa Dewan Pendidikan di Provinsi Aceh disebut Majelis Pendidikan Daerah (MPD).
  2. Pendanaan dewan pendidikan dapat bersumber dari: a. pemerintah; b. pemerintah daerah; c. masyarakat; d. bantuan pihak asing yang tidak mengikat; dan/atau; e. sumber lain yang sah (mengapa menggunakan kata dapat?).
  3. SK Dewan Pendidikan Provinsi diterbitkan oleh Gubernur, Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota oleh Bupati/Walikota, dan Komite Sekolah oleh Kepala Sekolah.
  4. Anggota komite sekolah/madrasah berjumlah paling banyak 15 (lima belas) orang, terdiri atas unsur: a. orang tua/wali peserta didik paling banyak 50% (lima puluh persen); b. tokoh masyarakat paling banyak 30% (tiga puluh persen); dan c. pakar pendidikan yang relevan paling banyak 30% (tiga puluh persen). Apa yang termasuk tokoh masyarakat, dan apa yang termasuk pakar pendidikan?
  5. Serta beberapa pasal dan ayat lain yang ternyata memerlukan penjelasan secara tegas.

Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT)

Untuk memberikan bahan masukan yang diperlukan dalam proses penyusunanan Rancangan Peraturan Mendikbud (RPM) tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah tersebut, pada tanggal 24 September 2016, Biro Hukum dan Organisasi telah mengundang beberapa wakil dari Dewan Pendidikan Provinsi dan Kebupaten/Kota, wakil dari Komite Sekolah, Koalisai Masyarakat Sipil Untuk Transpormasi Pendidikan (KMSTP) untuk mengadakan Uji Publik Penyusunan Rancangan Peraturan Mendikbud tentang Dewan Pendidikan.

Dalam Uji Publik tersebut, penulis menyampaikan beberapa isu penting yang dipandang  sangat krusial untuk dibahas dalam tulisan berikut ini antara lain sebagai berikut:

  1. Nama Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Ada usulan nama Komite Sekolah dapat diubah menjadi Komite Sekolah Gotong Royong? Peserta dari Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Provinsi Aceh menyebutnya sebagai “jargon” Komite Sekolah Gotong Royong. Mengapa disebut sebagai jargon? Jargon[2] artinya “colorless” atau kata atau kalimat tidak berwarna, atau tidak jelas maknanya. Untuk memahami maknanya Komite Sekolah/Madrasah kita kembali kepada pomeo apalah arti sebuah nama. Bukankah yang terpenting hakikatnya. Apakah tujuan di belakang jargon tersebut? Apakah tidak mengaburkan pengertian Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Meskin nama tersebut datang dari Mendikbud peserta diskusi terpumpun konsisten dengan diskusi terpumpun untuk tetap menggunakan diskusi terpumpun. Masih perlukah jargon tersebut. Penulis mengingatkan kepada peserta bahwa diskusi ini disebut sebagai DISKUSI KELOMPOH TERPUMPUN, BUKAN DISKUSI KELOMPOK TERARAH (focus group discussion). Oleh karena itu, dalam hal nama ini diusulkan agar kita kembali nama yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Kita perlu kembali kepada dasar hukum yang sudah ada, kecuali kita akan merevisi dasar hukum tersebut, termasuk nama MAJELIS PENDIDIKAN DAERAH, yang kelahirannya berdasarkan CONUN KEISTIMEWAAN ACEH.
  1. Memang, nama yang digunakan Dewan Pendidikan tidak semua sama, karena NAMA GENERIK. Beberapa Dewan Pendidikan ada yang tidak menggunakan nama Dewan Pendidikan, misalnya Majelis Pendidikan Daerah (MPD) untuk daerah Provinsi Aceh, dan semua MPD Kabupaten di daerah Aceh, yang keberadaannya lahir dari Perda atau Conun Keistimewaan Aceh. Di samping itu, Dewan Pendidikan Provinsi Kalimantan Selatan menggunakan nama BPPN (Badan Pertimbangan Pendidikan) Provinsi Kalimantan Selatan.
  1. Apakah Program Fund Rising hanya dapat dilaksanakan oleh Komite Sekolah, ataukah juga dapat dilaksanakan Dewan Pendidikan? Kalau Fund Rising untuk Komite Sekolah/Madrasah tidak ada masalah. Karena Kemenag memang tidak mengeluarkan PERMEN tentang PUNGUTAN DAN SUMBANGAN. Kemenag hanya mengenal AMAL, tidak ada PUNGUTAN. Mengapa terjadi perbedaan tentag praktik PUNGUTAN DAN SUMBANGAN? Memang sumbangan tidak menjadi soal, asalkan denggunakan mekanisme sebagai berikut:
  1. Program Fund Rising tersebut lahir karena masalah yang dihadapi atau dari kebutuhan aktual dari masyarakat yang dibuatkan notulen rapat Dewan Pendidikan atau Komite Sekolah secara tertulis dan ditandatangani oleh peserta rapat;
  2. Notulensi rapat tersebut disyahkan oleh UPTD atau Dinas Pendidkan;
  3. Program Fund Rising tersebut direncanakan secara demokratis oleh Dewan Pendidikan/Komite Sekolah; dilaksanakan secara terbuka, dan hasilnya dilaporkan secara akuntabel oleh pengurus Dewan Pendidikan/Komite sekolah;
  4. Penggunaan Fund Rising tersebut dilaporkan secara tertulis dan akuntabel kepada masyarakat.
  5. Perbedaan program Fund Rising antara satuan Pendidikan di bawah pembinaan Kemenag dan Kemdikbud terjadi karena pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan itu di Indonesia tidak satu sistem. Penyakit DUALISME PENDIDIKAN di Indonesia sudah dan masih terjadi LAMA SEKALI. Dualisme Sekolah Dasar telama terjadi. Mendagri dan Depdiknas lama memperebutkan Sekolah Dasar. Sampai saat ini pun kita sebenarnya masih berebut tentang PENDIDIKAN, yang kita semua memisahkan PENDIDIKAN UMUM dan PENDIDIKAN AGAMA. Bahkan, beberapa SMK diperebutkan antara Kemendikbud dengan Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Perindustrian.
  6. Pengawas Sekolah sebagai pengawas Komite Sekolah. Apakah Pengawas Sekolah dapat memiliki fungsi tersebut. Apakah harus demikian? Apakah tidak seharusnya Komite Sekolah mengawasi Pengawas Sekolah? Masyarakat, yang wadahnya adalah Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang justru harus mengawasi semuanya, agar JERUK TIDAK MAKAN JERUK.
  7. Apakah Kepala Sekolah dapat sebagai ex officio Komite Sekolah, termasuk nanti Gubernur/Bupati/Bupati/Wali Kota sebagai ex officio Dewan Pendidikan Provinsi, Dewan Pendidikan Kabupaten/Walota, bahkan MENDIKBUD SEBAGAI EX OFFICIO DEWAN PENDIDIKAN NASIONAL Konsep ini bertabrakan dengan DEWAN PENDIDIKAN DAN KOMITE SEKOLAH sebagai LEMBAGA AD HOCK. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah bukan lembaga birokrasi. Dalam PP Nomor 17 Tahun 2010, Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah disebut sebagai LEMBAGA MANDIRI, yang dapat dimaknai sebagai lembaga bukan lembaga birokrasi.
  8. Banyak pihak yang mempertanyakan apakah perlu Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah? Kan sudah ada Dinas Pendidikan dan juga sudah ada Kepala Sekolah? Oleh karena itu perlu klarifikasi lembaga LEMBAGA BIROKRASI, misalnya Kepala Sekolah menjadi pembina Komite Sekolah, Bupati/Wali Kota menjadi Pembina Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota. Gubenur menjadi Pembina Dewan Pendidikan Provinsi. Gubernur Provinsi Aceh bukan PEMBINA MPD? Kalau nanti sudah tebentuk DPN apakah Mendikbud menjadi Pembinanya? Bahkan apakah DPN nanti perlu dilantik oleh Mendikbud? Makna PEMBINA dapat diartikan sebagai hirark, karena dimaknai BIROKRASI TIDAK HIERARKIS dengan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
  9. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah sebagai wadah peran serta masyarakat, Bahkan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah representasi masyarakat. Dengan demikian, mulai dari DPN, Dewan Pendidikan Provinsi, Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota sampai dengan Komite Sekolah menjadi wadah peran serta masyarakat atau menjadi representasi masyarakat. Jadi eksistensi Dewan Pendidikan dan Komite sekolah ibarat suami-isteri, ibarat dua sisi mata uang yang tidak dipisahkan. Keduanya harus duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi.
  10. SK Komite Sekolah oleh Kepala Sekolah, juga SK Dewan Pendidikan. SK Komite Sekolah oleh Kepala Sekolah sebenarnya tidak berarti sebaga UNERDBOW atau hierarkis. Atau di-SK-kan Dinas Pendidikan. Terkait dengan hal tersebut adalah TIGA UNSUR KOMITE SEKOLAH: (1) orang tua/wali peserta didik, (2) tokoh masyarakat, (3) tokoh pendidikan, atau tokoh apa lagi. Itu semua sudah ditetapkan dalam PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Bahkan ada tawaran baru dari PUSLIJAK yang penting voluntir, siapa saja dapat menjadi pengurus atau anggota Komite Sekolah asal usianya lebih dari delapan tahun? Puslitjak juga memberikan contoh tidak ada School Committee, yang ada adalah school govern.” Boleh jadi benar. Tapi Komite Sekolah di USA kalau tidak salah dinamakan PTO (parent teacher association), Komite Sekolah di Malaysia dinamakan PIGB (Persatuan Ibu Bapa dan Guru) untuk Komite Sekolah di Singapura diberi nama COMPASS (Community and Parents in Support of Schools).
  11. TUSI (Tugas dan Fungsi) atau yang sudah biasa di telinga kita adalah Peran, Fungsi, dan Tugas. Lebih baik dikembalikan ke Kepmendikbud Nomor 044/U/2002. Karena dalam PP Nomor 17 Tahun 2010 tidak ada fungsinya. Dalam PP tersebut dinamakan fungsi, tidak disebut sebagai peran. Dalam Kepmendikbud Nomor 044/U/2002, terkenal 4 peran Dewan Pendidikan: (1) advisory agency, (2) supporting agency, (3) controlling agency, dan (4) mediatory agency. Dalam PP Nomor 17 Tahun 2010, peran tersebut dipadankan dengan Pasal 192 (2) yang dinyatakan:

“Dewan Pendidikan berfungsi dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.”

  1. Konsep FUND RISING, sering dijelaskan tentang TIGA PRINSIP: DEMOKRATIS, TRANSPARAN, dan AKUNTABEL. Tiga prinsip tersebut harus diimplementasikan mulai dari semua fungsi manajemen, mulai dari perencanaan sampai dengan pelaporannya.
  2. Perbedaan PROGRAM KERJA KEMITRAAAN atau KERJA SAMA SAMA KEMITRAAN dan KOORDINASI? Kerja sama kemitraan (biasanya dengan institusi lain), misalnya Komite Sekolah dengan perusahaan yang ada di sekitar lokasi sekolah, misalnya dalam mengelola CSR (corporate social responsibility) untuk memperoleh keuntungan bersama melalui (Fund Rising dalam bentuk sumber daya dan sumber dana). Berbeda dengan kerja sama kemitraan, Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah juga harus melaksanakan koordinasi (terutama untuk peningkatan sumber daya, dan untuk meningkatkan capacity building).

Akhirul Kalam

Selamat mengumpulkan masukan dan usulan, bahan pertimbangan, untuk menyusun Permendikbud dan menyempurnakan Permendikbud tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Mudah-mudahan Allah SWT memberkati kita semua. Amin, ya-robbal alamin.

Depok, 10 Oktober 2016

[1] Doni Koesoemo A. Dewan Pendidikan sebagai Lembaga Ad Hock Pendidikan, Kompas.

[2] Google translate.

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.