Oleh: Suparlan *)
Republika pagi ini, tanggal 4 November 2016, menulis tentang rencana aksi unjuk rasa besar-besaran di Jakarta yang perlu dicermati oleh semua pihak untuk memperoleh pembelajaran tentang pandangan pengamat asing terhadap rencana aksi unjuk rasa tersebut. Tulisan ini mencoba menganalisisnya dan memberikan penerangnya dari hikmah toliransi. Pandangan pendapat asing memang belum tentu lembih objektif. Namun setidaknya dapat menjadi penyeimbang. Demikianlah yang ditulis oleh Fitriyan Zamzami, Amri Arullah di Republika. Sebagai pembaca Republika, kita memerlukan Republika yang lebih objektif.
Dua Pengamat Asing Tentang Aksi Unjuk Rasa Tanggal 4 November 2016
Ada dua pengamat asing yang memperoleh perhatian penulis di Republika pada hari ini. Pertama, adalah Sidney Jones, yakni Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict, seorang wanita asal Amerika Serikat yang sejak lama telah menjadi pengamat isu-isu ekstremisme Islam. Pengamat ini telah menerbitkan artikel dalam situs jurnal ternama lowyinstitute.org. Isi artikel tersebut berjudul “Why Indonesian Hard Liners Are Gaining Ground.” Menurutnya, aliran garis keras di Indonesia tersebut memperoleh tempat yang subur karena pengaruh oleh kelompok aliran garis keras dari luar negeri tersebut. Kesimpulan tersebut diperoleh dari foto kelompok teroris Jaisya al-Faith di Suriah. Pandangan ini kebanyakan didukung oleh para pembicara dalam acara diskusi yang digelar oleh Wahid Institute pada tanggal 2 November 2016. Kelompok garis keras di Suriah ini membawa poster “Tangkap Ahok” dan “Peti Mati Ahok,” sebagaimana yang ditulis oleh Fitriyan Zamzani, Amri Amrullah di Republika. Dalam diskusi tersebut, akhirnya Sidney Jones mengambil kesimpulan tentang perlunya kehati-hatian terhadap pengaruh aliran garis keras di Indonesia tersebut.
Pengamat asing kedua adalah Ian Wilson, seorang pakar Indonesia dari Universitas Murdoch Perth Wertern Australia. Pakar ini menuliskan buah pikiranannya dalam artikel yang dimuat dalam jurnal daring di New Mandala yang dikelola oleh Universitas Nasional Australia (ANU) pada Hari Kamis, 11 November 2016. Pandangan Wilson ini berbeda dengan Sidney Jones. Pakar ini telah memotret lebih cermat kinerja Ahok. Bukan main-main, pakar yang telah “turun gunung” dari Australia ke Jakarta Indonesia tersebut memang telah memperoleh gambaran yang lebih menyeluruh tentang kenerja Ahok dan kelompok kalangan menengah ke atas di Indonesia. Pertama, Ahok telah “memimpin upaya penggusuran dengan jumlah paling banyak sepanjang sejarah kepemimpinan Jakarta.” Demikian Fitriyan Camzami, Amri Amrullah menulisnya dengan hati-hati. Dalam hal ini, Wilson juga mengkritik Jokowi karena kaum intelektual dan aktivis kelas menengah yang nyaris tidak menyentuh perjuangan kaum miskin di perkotaan. Itulah sebabnya marjinalisasi kalangan menengah ke bawah ini telah ikut memicu kemarahan dalam aksi para rasa tersebut. Bahkan ormas Islam utama, Nahdlatul Ulama dinilai telah terlalu miring telah getol mendukung Ahok. Ketua tim pemenangan Ahok dari kalangan ini. Bahkan PDI Perjuangan, yang menyatakan diri sebagai partinya wong cilik justru berdiri di belakang Ahok. Kesimpulan pengamat asing yang dapat dipetik adalah sebagai berikut: (1) masalah penggusuran (reklamasi) dan marjinalisasi oleh kabijakan-kebijakan yang telah diambil oleh Gubernur petahana menjadi pemicu utama maraknya aksi unjuk rasa, di samping dugaan penistaan agama, (2) apa pun yang terjadi sebagai akibat dari aksi unjuk rasa merupakan harga yang harus dibayar apabila aksi unjuk rasa tersebut tidak mendapatkan perhatian.
Toleransi
Aksi unjuk rasa tersebut memang dekat dengan sejarah pelaksanaan toleransi di negeri ini. Umat Islam meyakini agamanya sebagai agama yang moderat, agama yang menjunjung toleransi yakni “Untukmu Agamamu, Untukku Agamaku.” Keyakinan terhadap Agamanya telah telah mengakar-urat dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu, ketika peristiwa penistaan Agama telah diucapkan oleh siapa pun juga, maka aksi untuk jasa akan menjadi jalan yang lempang untuk melawan keyakinan tersebut. Tidak ada alasan apa pun untuk membelokkan arah keyakinan tersebut. Toleransi telah melalui sejarah panjang di negeri ini. Pada awal sejarah kemerdekaan Indonesia, kelompok Islam telah melakukan pendekatan dan musyawarah untuk menyelesaikannya. Mudah-mudahan, pendekatan ini menjadi proses pembelajaran bagi generasi berikutnya. Lahirlah ajakan jasmerah (jangan melupakan sejarah) dari Bung Karno. Umat Islam ternyata terbukti menjadi umat yang konsiten dengan ajaran agamanya, terutama dalam melaksanakan toleransi tersebut.
Dalam sejarah, pada saat penyusunan UUD pada Sidang Kedua BPUPKI, Piagam Jakarta direncanakan akan dijadikan Muqaddimah (preambule) Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya pada pengesahan UUD 45 pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI, istilah Muqaddimah diubah menjadi Pembukaan UUD. Butir pertama yang berisi “dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya”, diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa oleh Drs. M. Hatta atas usul A.A. Maramis setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo.[1] Peristiwa ini menjadi bukti otentik yang tak terbantahkan dalam sejarah oleh siapa pun yang menunjukkan tentang konsistensi umat Islam terhadap toleransi yang telah dihayati dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Aksi unjuk rasa ini akan menjadi bukti berikutnya apakah sebagian besar umat, yang melakukan unjuk rasa dari berbagai daerah itu memiliki semangat toleransi seperti yang telah ditunjukkan oleh generasi sebelumnya.
Hikmah Toleransi dan Kasus Ahok
Dalam sejarah dijelaskan bahwa Naskah Piagam Jakarta ditulis dengan menggunakan ejaan Republik dan ditandatangani oleh Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, A. A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H.A. Salim, Achmad Subardjo, K. H. Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin. Dari sembilan anggota penyusun Naskah Piagam Jakarta terdapat seorang nonmuslim, yakni Mr. A. A. Maramis. Kalau mau mengggunakan dominasi mayoritas, tentunya Naskah Piagam Jakarta tersebut tentu akan lebih mudah ditentukan oleh dominasi mayoritas. Tetapi, kenyataanya tidak. Dalam sejarah, proses penyusunan Naskah Piagam Jakarta tersebut memang direncanakan sebagai Pembukaan UUD 1945 untuk NKRI yang akan diproklamasikan NKRI. Sejarah mencatat bahwa kemerdekaan Indonesia berhasil diproklamasikan oleh Ir. Sukarno dan Moh. Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Muqadimah UUD 1945 tersebut telah menjadi Pembukaan UUD 1945. Proklamasi kemerdekaan Indonesia tersebut telah mencapai usia ke-71 tahun saat ini. Hikmah toleransi yang telah diberikan oleh umat Islam tersebut telah kita rasakan sampai saat ini. Bukti sejarah inilah yang dapat dijadikan penerang bagi siapa pun, khususnya bagi pengamat asing yang menulis tentang berbagai hal yang terkait dengan isu ekstremisme Islam di Indonesia seperti yang ditulis oleh Sidney Jones dalam tulisannya berjudul “Why Indonesian Hard Liners Are Gaining Ground.” Alhamdulillah pengamat asing kedua melihat Indonesia secara lebih objektif. Oleh karena itu, jika ada pertanyaan “Mengapa Aliran Garis Keras Indonesia memperoleh tanah subur?” Mudah-mudahan tanah yang subur itu tidak dipengaruhi oleh aliran garis keras dari mana pun, karena Umat Islam Indonesia memiliki sendiri tanah yang subur itu, yakni toleransi Islam “Untukmu Agamamu, Untukku Agamaku.”
Untuk menutup tulisan ini, ada seorang penulis di medsos yang telah mengirimkan tulisannya tentang rasa terima kasihnya kepada Ahok yang telah berhasil membuka mata Umat Islam agar dapat membaca Alquran setiap hari bukan hanya Surat Almaidah ayat 51, tapi minimal semua Surat Almaidah, atau bahkan seluruh Surat dalam Alquran. Dengan menangkap jiwa kata-kata dalam Alquran (grasping the soul of them) kita akan memahami dengan benar, sebenarnya siapa yang lebih toleran!
Depok, 5 Oktober 2016.