Oleh: Suparlan *)
Vietnam secara mengejutkan berhasil menduduki peringkat ke-12 dalam the Programme for International Student Assessment bidang matematika, sains, dan membaca untuk usia 15 tahun. Meski partisipasi Vietnam pada tahun 2012 tersebut merupakan yang pertama kalinya, ternyata negara yang merdeka pada tanggal 2 September 1945 dari tangan penjajah Amerika Serikat ini telah berhasil menggantikan kedudukan Malaysia dan Thailand sebagai negara sesama anggota ASEAN yang sebelumnya masuk dalam peringkat tersebut. Peringkat tersebut dibuktikan di lapangan bahwa tingkat literasi orang dewasa adalah sebagai pembaca yang kuat (to be strong readers). Tentu saja keberhasilan Vietnam harus menjadi bahan pelajaran bagi Indonesia. Untuk saling bekerja sama, saling belajar tentang kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Budaya Literasi
Sungguh, penyebaran budaya literasi tenaga kerja di Vietnam menjadi pendorong utama kesuksesan pembangunan negara Vietnam dalam dua dekade, karena dengan literasi telah berhasil mengubah produktivitas tenaga kerja dalam pertanian yang rendah menjadi produktivitas tenaga kerja non-pertanian yang lebih tinggi. Inilah data keberhasilan Vietnam dalam PISA tahun 2012.
Antara Data dan Fakta
Tulisan ini akan melihat keberhasilan negara Vietnam menurut data dan angka, dan dilihat kenyataannya berdasarkan hasil observasi sebagai berikut:
Observasi pertama, tercapainya the “fundamental school quality level in primary education across the country.” Dengan kata lain program wajib belajar sembilan tahun telah berhasil.
Observasi kedua, “there is a high degree of professionalism and discipline in classrooms across Vietnam: Teacher absenteeism is virtually unknown and Vietnam’s teachers are capable. Moreover, student attendance is high.” Dengan kata lain tingkat profesionalisme guru dan disiplin guru di Vietnam sangat tinggi. Presensi guru dan siswa di Vietnam tinggi. Tak ada yang bolos-bolosan.
Observasi ketiga, bagaimana pun, Vietnam masih menderita DO pada jenjang pendidikan dasar, khususnya di sekolah golongan minoritas dan sekolah luar biasa. Tapi APK Sekolah Menengah Atas masih tinggi, berdiri pada angka 60%. Sejak PISA yang telah menilai kompetensi dari 15 tahun di sekolah, hal ini menunjukkan bahwa Vietnam telah “menangkap” para siswa Vietnam yang belajar di pendidikan menenga atas, dan kemungkinan lebih baik melakukannya.
Jelas, tantangan yang tersisa utama adalah untuk mengurangi angka putus sekolah lebih awal di antara mereka yang kurang beruntung. Dengan demikian, PISA berikutnya akan berhasil lebih baik, dan akan dapat mempertahankan posisi the best twelve tersebut. Akan lebih hebat lagi dapat melejitkan lagi ke posisi yang lebih tinggi. Siapa takut??
Figure 1: Tenaga Kerja Kota Vietnam
Sumber: www.google.com
Negative thinking kepada Vietnam
Ketika saya mencoba menunjukkan data tersebut, justru ada teman yang berfikir negatif tentang Vietnam. Ada yang menyatakan bahwa keberhasilan tersebut karena Vietnam telah memilih para siswa lebih dahulu untuk diikutkan dalam penilaian? Tentu saja, semua negara akan melakukan hal yang sama. Vietnam pastinya akan mengikuti persyaratan dan ketentuan yang sama yang berlaku untuk semua negara peserta. Dengan demikian Indonesia tidak harus berfikir negatif dalam hal ini. Kita akui saja secara jantan hasil penilaian PISA tersebut.
Tiga Faktor Utama
Ada tiga faktor yang telah berkontribusi terhadap upaya melejitkan posisi hasil penilaian PISA negara Vietnam, yakni faktor komitmen pejabat pemeritahan terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan, kurikulum yang terfokus, dan kualitas gurunya.
Pertama, komitmen pejabat pemerintah terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan, termasuk komitmen untuk tetap memberikan anggaran minimal 20% untuk pendidikan. Untuk anggaran ini, Indonesia memang berhasil mempertahankan 20% anggaran pendidikan, tetapi peruntukan anggaran tersebut yang masih perlu dipertanyakan. Sebagian besar anggaran tersebut kebanyakan bukan untuk biaya investasi, tetapi untuk gaji. Dalam hal anggaran ini, Vietnam sudah melampaui Indonesia dengan 21% anggaran untuk pendidikan. Mengapa kita selalu ketinggalan?
Di samping itu, yang dimaksud pendidikan di Indonesia adalah termasuk pendidikan yang terdapat di luar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hampir semua kementerian memiliki urusan pendidikan. Bahkan, pendidikan di negeri ini terjadi dualisme pendidikan antara pendidikan umum dan pendidikan agama, yang sejak dahulu juga terdapat dikotomi politis untuk tawar menawar Menteri yang harus memimpin Kemenag dan Kemendikbud. Di Malaysia, mungkin juga di Vietnam tidak ada masalah dikotomi pendidikan ini. Sejak dahulu, negeri ini disibukkan dengan masalah dikotomi, yakni dikotomi pendidikan dasar di bawah Kementerian Dalam Negeri dan Kemendikbud. Masalah ini berlansung lama. Alhamdulillah sekarang dikotomi ini dapat dipecahkan dengan desentralisasi pendididkan.
Kedua, kurikulum yang terfokus. Proses pengembangan dan pembinaan kurikulum sudah berlangsung lama sekali. Kurikulum yang pertama adalah Rencana Pelajaran 1947. Kurikulum terpisah-pisah (separated curriculum) sudah diselesaikan sejak tahun 1968, ketika terjadi fusi mata pelajaran menjadi IPA (ilmu pengetahuan alam) dan IPS (ilmu pengetahuan sosial). Dengan fusi tersebut jumlah mata pelajaran tidak terlalu banyak seperti era sebelumnya. Dengan kelahiran KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), kurikulum tidak lagi dikembangkan oleh pemerintah pusat, melainkan dikembangkan sendiri oleh sekolah bersama semua pemangku kepentingan. Hal ini dinilai positif, terkait dengan otonomi sekolah yang dikenal dengan MBS (manajemen berbasis sekolah). Kurikulum dikembangkan sendiri oleh sekolah berdasarkan standar yang ditetapkan oleh Pemerintah. Setiap sepuluhan tahun, kurikulum memang perlu dikembangkan agar kurikulum yang digunakan selaras dengan kebutuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kurikulum 2013 kini dikembangkan dengan konsep pembelajaran tematik integratif. Kurikulum ini sudah selaras dengan perkembangan zaman. Mudah-mudahan Kurikulum 2013 dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan rencana, sebagai kurikulum yang terfokus. Kelemahan tidak adanya dokumen evaluasi yang mendalam terhadap Kurikulum 2013 tentu sudah diantisipasi oleh para pengembang kurikulum. Pelaksanaan kurikulum harus dilaksanakan secara bertahap.
Ketiga, guru yang berkualitas. Good education requires good teachers. Demikian pesan Digumarti Baskara Rao, ahli pendidikan dari India. Negeri ini memang sudah memiliki LPMP (lembaga penjaminan mutu pendidikan) dan guru di Indonesia bukan lagi produk yang “ece-ece.” Karena standar kualifikasi minimalnya sudah S1. Bukan lagi SPG atau KPG. Untuk diangkat menjadi guru sudah harus mengikuti PLPG, dan semua guru harus mengikuti UKG (uji kompetensi guru). Hasil uji kompetensi guru diharapkan akan dapat untuk meningkatkan pencapaian standar kompetensi guru (SKG). Proses penyusunan SKG sudah berlangsung lama, tetapi yang kurang adalah konsistensi kebijakan, termasuk sejak pertama kali diadakan program sertifikasi guru. Seharusnya pada saat itu guru yang berhasil lulus uji kompetensi yang memperoleh tunjangan sertifikasi. Pada saat itu, semua guru memperolehnya, termasuk yang negeri dan swasta. Akhirnya, membengkaklah jumlah anggarannya. Bahkan hasil kegiatan PLPG (pendidikan dan latihan pendidikan guru) untuk memperoleh kelulusan serfifikasi guru semua diluluskan. Bahkan portofolio yang harus disusun pun kebanyakan adalah hasil kopi pasti, dan walhasil semua guru lulus PLPG dan berhak memperoleh tunjangan sertifikasi. Dengan demikian, cita-cita untuk menghasilkan guru yang berkualitas tidak hanya menjadi angan-angan belaka. Para guru tidak hanya akan dinilai melalui UKG (uji kompetensi guru) yang dilakukan oleh pemerintah, tetapi sebagai seorang profesional, para guru memang akan dinilai oleh rekannya (peers) dan bahkan semua pemangku kepentingan pendidikan. Lagi-lagi, berdasarkan hasil penilaian tersebut, guru akan mendapatkan pelatihan tambahan yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Untuk guru yang meraih nilai bagus, mereka diberikan kesempatan melakukan riset atau melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi atau lembaga terkait di negara tersebut atau di negara lainnya. Menteri baru pengganti Anies Baswedan telah melansir iformasi bahwa pemerintah akan menambah jumlah guru, yang diwasa ini banyak yang berstatus sebagai guru nonor. Namun upaya penambahan guru tidak akan artinya jika tidak diikuti dengan peningkatan kualitasnya. Bahkan Bank Dunia pada tahun 2013 dalam “Tinjauan Belanja Publik di Sektor Pendidikan” menyakan bahwa program sertifikasi guru perlu ditinjau kembali karena tidak membawa hasil yang diharapkan.
Walhasil, ketiga faktor yang telah menghantarkan Vietnam untuk mencapai peringat yang kita harapkan, Vietnam harus membenahi ketiga komponen tersebut. Indonesia menyadari baha semula, NKRI lebih dahulu merdeka dibandingkan dengan Vietnam. Tapi kini harus puas berada di belakangnya. Tentu saja yang diperlukan adalah usaha. Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu negara, jika rakyat di negara itu tidak akan mengubahnya sendiri. Amin.
Sumber: https://acdpindonesia.wordpress.com
Depok, 31 Juli 2016.