Oleh: Suparlan *)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembanya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmy, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Tujuan pendidikan tersebut sering disebut dengan 3 H, yakni yang terkait dengan heart, head, dan hand, atau hati, otak, dan tangan. Itulah yang disebut sebagai tiga ranah tujuan pendidikan (three domains of educational objectives) menurut Benjamin S. Bloom. Ketiga ranah tujuan pendidikan tersebut disebut juga sebagai budi pekerti, kecerdasan intelektual, dan kecakapan fisikal. Ketiga aspek tersebut disebut juga dengan 1) asepk afektif, 2) aspek kognitif, dan 3) aspek psikomotor.
Bolehkah kita menawar kurang dari ketiga ranah tersebut?
Bagaimana jika kita hanya mencapai salah satu atau dari ketiganya? Misalnya, kita akan mencapai aspek budi pekerti saja, atau aspek kecerdasan intelektual saja, dan atau akan mencapai kecakapan fisikal saja.
Agar dapat menjadi contoh yang mudah difahami, misalnya peserta didik hanya akan memperoleh kecakan secara maksimal dalam bidang olah raga. Katakan dalam olah raga sepak bola. Alasannya, dengan mencapai kecakapan dalam bidang olah raga sepak bola ini, kita sudah dapat mencapai kehidupan yang luar biasa. Marilah kita bayangkan kehebatan pemain sepak bola, yang dielu-elukan oleh ribuan penontonnya. Dengan manajemen olah raga yang dilaksanakan secara profesional, para pemain sepak bola profesional tersebut akan mencapai perikehidupan yang banyak dicita-citakan oleh semua orang, termasuk peserta didik di mana pun juga. Jadi, ada orang tua yang menginginkan anaknya, yang kebetulan dikaruniai fisik yang sagat sehat, setiap hari memperoleh latihan dalam bermain olah raga. Oleh karena itu, anaknya memang digadang-gadang menjadi pemain sepak bola yang profesional. Dengan demikian, dua ranah pendidikan yang lain tidak diperlukan lagi. Tidak diperlukan? Atau Kurang mendapatkan perhatian, karena menitikberatkan salah satu dari ketiga ranah tersebut.
Komprehensif menjadi kata kunci
Kemampuan oleh raga sepak bola tersebut memang lebih banyak memerlukan kecakapan fisikal (hand tersebut sebenarnya mewakili aspek fisik saja, sepak bola justru memang hanya memerlukan kecakapan tangan tetapi kaki). Jadi, sebaiknya kita mencapai tujuan pendidikan secara komprehensif atau keseluruhan. Sama sekali tidak mempedulikan salah satu aspek tujuan pendidikan memang tidaklah mungkin, karena ketiganya memang akan saling berkaitan. Katakanlah seorang peserta didik yang telah menjadi pemain sepak bola yang profesional, toh dia tetap memerlukan menjadi pemain sepak bola yang menghormati orang tua, menyayangi kawan-kawan sekoleganya. Aspek ini tidak lain adalah aspek hati (heart) atau ranah afektif. Lebih dari itu, seorang pemain sepak bola yang profesional tersebut tetap masih harus mempunyai kemampuan berfikir logis, yang dalam hal ini bagian dari kemampuan dalam ranah kognitif. Bahkan, pemain sepak bola yang profesional pun justru harus dapat menghitung duitnya yang banyak itu. Hal ini adalah bagian kecil dari ranah kognitif.
Singkat kata, tujuan pendidikan yang harus dicapai oleh setiap peserta didik untuk memperoleh tiga ranah. Sedapat mungkin dapat mencapai derajat yang komprehensif. Tidak boleh mengabaikan salah satu satunya. Sekalipun potensi ranah pendidikan yang dapat dikembangkan sudah barang tentu adalah salah satu dari ketiga ranah pendididkan tersebut. Ketiganya harus satu dicapai dalam satu kesatuan yang utuh. Komprehensif. Inilah sulitnya. Walaupun dicapai secara parsial. Misalnya aspek keterampilan, misalnya keterampilan dalam bidang olah raga. Itu memang dapat dilakukan. Peserta didik memperoleh latihan dalam meningkatkan keterampilan dalam ranah tertentu. Boleh jadi salah satu ranah saja yang dapat dikembangkan secara omptimal. Misalnya, dalam kemampuan dalam bidang olah raga, atau ranah yang lainnya, baik secara parsial (setiap ranah) melalui semua mata pelajaran sesuai dengan standar isi kurikulum yang diberikan kepada peserta didik.
Terobosan
Untuk mencapai tiga ranah tujuan pendidikan tesebut, strategi pembelajaran yang ditempuh adalah melalui cara yang biasa-biasa saja. Untuk memberikan dorongan yang lebih kuat dalam proses pembelajaran, para pengambil kebijakan ada yang mencari jalan yang dikenal dengan istilah beberapa terobosan. Salah satu kebijakan yang menjadi pusat perhatian Kementerian Pendidikan terkait salah satu ranah tujuan pendidikan tersebut adalah “Penumbuhan Budi Pekerti.”
Mengapa Penumbuhan Budi Pekerti (PBP)?
Pertanyaan mengapa menggunakan istilah menumbuhkan budi pekerti (PBP) dan tidak menggunakan “pendidikan karakter” atau “moral Pancasila” atau “imtaq” atau yang lain lagi. Tentu saja hal ini terkait dengan pilihan istilah. Selama ini kebijakan yang telah dilaksanakan adalah pendidikan karakter, pendidikan moral Pancasila, peningkatan imtaq, dan istilah lainnya. Kenyataannya program yang telah lama dilaksanakan oleh pemerintah dengan jargon P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), dan hasilnya menurut Ketua MPR dikatakan pelaksanaan P4 “hasilnya tidak difahami oleh banyak orang.” Bahkan Pancasila sebagai dasar negara RI “seperti ada dan tiada.” (Republika, Rabu, 3 Agustus 2016, Masdik.com). Itulah sebabnya maka kebijakan yang dilaksanakan oleh Kemendikbud pada saat ini telah diubah menjadi Penumbuhan Budi Pekerti (PBP), karena antara lain arena istilah budi pekerti lebih sesuai dengan warisan Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara.
Makna Penumbuhan (Lima Langkah Ranah Afektif)
Penumbuhan merupakan proses alami. Sesuai dengan konsep Benjamin S. Bloom tentang tiga ranah tujuan pendidikan, penumbuhnan dapat disamakan dengan proses “pembiasaan dalam kehidupan.” Jadi bukan proses pemaksaan” apalagi “proses kekerasan dan ancaman” dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Benjamin S. Bloom, proses pembiasaan tersebut merupakan proses dalam ranah afektif (affective domain) yang meliputi lima langkah afektif sebagai berikut:
- Penerimaan fenomena (receiving phenomena), contohnya misalnya nilai-nilai kebersihan, jujur, menghormati orang tua atau yang lebih tua, orang lain, dan sebagainya.
- Respond terhadap fenomena (responds to phenomena), respon terhadap nilai-nilai tersebut adalah positif.
- Menilai (valuing), menilai beberapa nilai yang akan diadopsi.
- Mengorganisasi (organizing), mengorganisasi.
- Internalisasi nilai (internalizing values), menerima dan mengamalkan nilai-bilai yang akan diamalkan dala kebiasaan hidup sehari-hari, dan terjadilah proses karakterisasi atau characterization (proses menjadi karakterisasi, mempribadi).
Dengan demikian, proses penumbuhan ini diawal dengan pengenalan konsep nilai yang akan ditumbuhkan. Setelah itu peserta didik diminta untuk memberikan respon terhadap nilai yang akan ditumbuhkan, dan kemudian peserta didik diminta untuk menilai kelebihan dan kekurangannya. Lalu peserta didik diminta untuk memberikan pandangan diminta untuk menerimanya dengan proses menjadi diri sendiri, dilaksanakan dalam perilaku peserta didik sendiri.
Kelima proses afektif tersebut menurut Benjamin S. Bloom tersebut digambarkan dalam bagan berikut:
Kegiatan Terobosan
Kelima langkah internalisasi dan karakterisasi itulah yang dimaksud sebagai proses pembiasaan dalam kegiatan di sekolah antara lain dapat dilaksanakan dengan terobosan dalam kehidupan sehari-hari misalnya adalah:
- 3 S = senyum, sama, dan salam, kepada orang tua atau yang dituakan;
- Berpamitan setiap berangkat ke sekolah atau ke tempat tujuan;
- Bersalaman kepada orang tua setiap bertemu atau mencium tangan orang tua atau orang yang dituakan setiap mau berangkat ke sekolah;
- Dan yang positif yang mendukung penerapan budi pekerti.
Depok, 8 Agustus 2016.