Hadist Semangkuk Kuah

0
1396

Oleh: Suparlan *)

Suatu saat saya berbincang-bincang dengan sekelompok tetangga yang biasa sedang ngrumpi. Untuk memanfaatkan waktu yang ada, saya menanyakan kepada seorang di antaranya dengan satu pertanyaan yang mudah-mudahan dapat menjadi topik yang menarik untuk dibahas. Apa pertanyaannya? Saya mengatasnamakan nama Rasulullah Saw. agar pertanyaannya agar bernas. Suatu saat, Rasulullah Saw. bertanya kepada para sahabat. Ada seorang sahabat yang dinilai memiliki amal perbuatan sebagai bukti keimanan yang ternyata memiliki nilai amat tinggi. Amal perbuatan apakah itu wahai sahabatku?

Pertanyaan sangat sederhana

Beberapa sahabat menahan nafas panjang karena menunggu barangkali ada sahabat dan mencoba untuk mencari kemungkinan jawaban atas pertanyaan Rasulullah Saw. Apakah gerangan apakah amal perbuatan yang dilakukan sahabat itu?

Apakah amal perbuatan itu, tanya Rasulullah Saw. kepada para sahabat sekali lagi.

Beberapa sahabat menoleh ke kiri dan ke kanan untuk memperoleh jawaban yang mungkin akan disampaikan oleh salah seorang sahabat. Atau barangkali ada penjelasan yang mungkin akan disampaikan sendiri oleh Rasullullah Saw.

Semua terdiam. Ditunggu dalam beberapa menit, ternyata tidak ada satu pun sahabat yang dapat memberikan jawaban kepada Rasulullah Saw. Demikian juga dengan Rasulullah Saw, tak ada penjelasan yang disampaikan oleh Rasulullah Saw.

Setelah saling menunggu jawaban, seorang sahabat yang sejak tadi berdiri sendiri mencoba untuk mengajukan jawaban kepada Rasulullah Saw.

“Shalat yang khusuk” barangkali wahai Rasullullah! Jawab seorang sahabat kepada Rasulullah.

“Bukan.” jawab Rasulullah Saw sambil menggelengkan kepala.

“Shalatnya selalu berjamaah” ya Rasullah. “Khususnya untuk shalat Subuh dan Isya“ jawab seorang sahabat dengan nada rendah.

“Juga bukan” jawab Rasulullah dengan tenang,

“Kalau bukan, apa lagi ya Rasulullah” tanya seorang sahabat sambil mendekat kepada Rasulullah.

“Shadakoh yang banyak dan ikhlas” ya Rasulullah.

“Juga bukan” tegas Rasulullah Saw.

“Dzikir yang panjang” wahai Rasulullah.

“Juga bukan” jelas Rasulullah.

Semua sahabat terdiam untuk menunggu jawaban dari sahabat yang lain.

“Kalau itu semua bukan sebagai bukti keimanan kepada Allah Saw.” lalu bukti apa lagi ya Rasulullah. Kami semua tidak dapat menunjukkan bukti keimanan itu ya Rasulullah! Mohon Rasulullah menjelaskan tentang bukti keimanan kepada Allah Saw. Kami semua ingin membuktikan kepada Allah Swt. bagaimana melaksanakannya.

Akhirnya Rasulullah menjawab. Semua jawaban para sahabat tadi memang benar. Tentu harus kita amalkan. Namun, bukti keimanan kepada Allah Saw. yang lain adalah “mengirimkan semangkuk kuah kepada tetangganya”.

Akhirnya Rasulullah Saw. memberikan penjelasan tentang jawaban itu. Para sahabat menyatakan “sami’na wa ato’na.”

Semula saya sungguh tidak menyangka bahwa kata “semangkuk kuah” dalam untaian sebuah Hadist. Allahukbar. Hadist ini disampaikan oleh ustadz dalam acara kajian Islam di Masjid Al-Mujahiddin Taman Depok Permai, pada tanggal 16 Januari 2016. Setelah pulang ke rumah, laptop saya masih terbuka. Saya mencoba menulisnya. Ternyata, jika kita sering mengucapkan Islam itu rahmatan lil alamin, maka itulah yang sebenarnya. Basis membangun masyarakat itu sesungguhnya mulai dari membangun silaturahmi dengan tatangga, memuliakan tetangga.

Tiga hak tetangga

Tetangga memiliki tiga hak. Mungkin ada tetangga yang memiliki tiga hak, pertama hak sebagai Muslim, kedua hak sebagai saudara sedarah, dan ketiga hak sebagai tetangga (ada Hadist yang menyebutkan bahwa tetangga itu empat puluh rumah dari rumah kita). Termasuk dengan hak yang ketiga adalah tetangga kita yang nonmuslim, yakni memuliakan tetangga.

Dengan demikian, secara bebas bunyi Hadist tersebut adalah “Abu Hurairah Radhiallohu ‘Anhu, beliau berkata; Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

((الإيمان بضع وسبعون شعبة، والحياء شعبة من الإيمان))

IMAN itu memiliki lebih dari tujuh puluh cabang, dan MALU merupakan salah satu cabang dari IMAN. Salah satu dari 77 cabang Iman adalah memuliakan tetangga, antara lain dengan memberikan semangkuk kuah kepada tetangga. Jikalau para ibu memasak, berilah kuah yang banyak, dan sebagian berikanlah kepada tetangga kita. Insya Allah. Kembali harus diyakini bahwa tetangga adalah pilar utama sebuah bangsa dan negara. Manakala pilar negara itu kuat, akan kuatlah negara.

Kritik dan saran terhadap tulisan ini akan disimpan dalam guci emas untuk penyempurnaan tulisan berikutnya.

Depok, 19 Januari 2016.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.