Oleh: Suparlan *)
***
Intelligence plus character – that is the goal of true education
(Martin Luther King Jr.)
The task of the modern educator is not to cut down jungles, but to irrigate deserts
(C.S. Lewis)
Educating the mind without educating the heart is no education at all
(Aristotle
***
Kemendikbud memiliki satu institusi eselon II yang bertugas dalam bidang penelitian kebijakan. Tugas lembaga ini memiliki beban yang berat, karena ternyata banyak kebijakan pendidikan yang baru dan yang lama yang harus dikaji ulang. Sebagai contoh, kebijakan FDS (Full Day School), adalah kebijakan Mendikbud yang baru saja diluncurkan pada saat Mendikbud mengawali tugasnya pada tahun 2016. Muncullah beberapa komentar terhadap kebijakan tersebut, dan pastilah kebijakan tersebut memerlukan klarifikasi dengan cara mengkaji kebijakan tersebut.
Masil ada beberapa kebijakan pendidikan menurut penulis masih harus dikaji ulang. Beberapa di antaranya adalah kebijakan tentang sekolah unggulan yang sudah dimansuhkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Boleh jadi, kebijakan tersebut dianggap sebagai kebijakan yang sudah mati, karena sudah dibatalkan oleh lembaga hukum yang berwewenang. Padalah kebijakan tentang sekolah unggulan sangat relevan dengan arah kebijakan yang pertama untuk tahun 2017. Arah pertama kebijakan pendidiikan tahun 2017 adalah peningkatan mutu proses pembelajaran, sebagaimana yang dijelaskan dalam standar proses pembelajaran sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan dalam PP Nomor 19 Tahun 2005.
Sesuai dengan judul tulisan ini, penulis akan mencoba untuk menelaah beberapa kebijakan pendidikan yang sedang dan akan dikaji lebih lanjut oleh Kemdikbud dalam waktu dekat. Dalam hal ini, MASDIK.COM, yakni portal yang secara khusus akan mengawal tujuh arah kebijakan pendidikan, sesuai dengan tekad awal penerbitan Portal Masyarakat Pendidikan ini. Portal ini bersifat terbuka dan berusaha untuk objektif dalam konten pendidikan atau konten lainnya yang terkait dengan pendidikan. Inilah beberapa kebijakan pendidikan yang dimaksud dalam judul tulisan ini.
Kebijakan Pertama: Pola Pendidikan Berbasis Karakter dan Full Day School (FDS)
Kebijakan ini baru saja dikemukakan oleh Mendikbud. Kebijakan ini telah mendekati kata putus dari Mendikbud. Dalam sumber yang dikutip dalam tulisan ini dijelaskan bahwa Pola Pendidikan Dasar, terutama Kelas I – III dilaksanakan dengan pola 70% pendidikan karakter dan 30% pendidikan keilmuan. Sementara untuk satuan pendidikan Menengah Pertama, polanya adalah 60% pendidikan karakter, dan 40% pendidikan keilmuan. Sementara pada satuan pendidikan SMA dan SMK, pola pendidikannya akan menitikberatkan pada pendidikan keilmuan, pendidikan vokasi, dan pendidikan keterampilan, dengan tujuan untuk mempersiapkan peserta didik memasuki dunia kerja. Hal tersebut dijelaskan dalam informasi awal tentang Kurikulum 2013. Sesuai dengan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, mengubah pola pendidikan tersebut tentunya dengan mengubah semua standar pendidikan tersebut, khususnya standar isinya, yakni kurikulumnya. Dalam rencana Kurikulum 2013 yang dipublikasikan oleh Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, struktur kurikulum SD, SMP, SMA, dan SMK, dapat dijelaskan sebagaimana terlampir. Dalam tabel tersebut standar isi dalam struktur Kurikulum SD memang mengandung muatan yang cukup besar untuk Komponen Mata Pelajaran (1) Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, dan ditambah dan (2) mata pelajaran PPKN sesuai dalam struktur kurikulum SD kelas I – III sampai kelas IV – VI dapat dijelaskan sebagai berikut:
Gambar 1: Struktur Kurikulum SD
No | Komponen | I | II | III | IV | V | VI |
Kelompok A | |||||||
1 | Pendidikan Agama dan Budi Pekerti | 4 | 4 | 4 | 4 | 4 | 4 |
2 | PPKN | 5 | 6 | 6 | 4 | 4 | 4 |
3 | Bahasa Indonesia | 8 | 8 | 10 | 7 | 7 | 7 |
4 | Matematika | 5 | 6 | 6 | 6 | 6 | 6 |
5 | IPA | * | * | * | 3 | 3 | 3 |
6 | IPS | * | * | * | 3 | 3 | 3 |
Kelompok B | |||||||
7 | Seni Budaya & Prakarya (termasuk muatan lokal **) | 4 | 4 | 4 | 5 | 5 | 5 |
8 | Pendidikan Jasmani, Olah Raga dan Kesehatan (termasuk muatan lokal). | 4 | 4 | 4 | 4 | 4 | 4 |
Jumlah | 30 | 32 | 34 | 36 | 36 | 36 |
Catatan:
*) KD IPA dan IPS kelas I – Kelas III diintegrasikan ke mata pelajaran lainnya.
**) Muatan lokal dapat memuat Bahasa Daerah.
Gambar 2: Struktur Kurikulum SMP
No | Komponen | VII | VIII | IX |
Kelompok A | ||||
1 | Pendidikan Agama dan Budi Pekerti | 3 | 3 | 3 |
2 | PPKN | 3 | 3 | 3 |
3 | Bahasa Indonesia | 6 | 6 | 6 |
4 | Matematika | 5 | 5 | 5 |
5 | IPA | 5 | 5 | 5 |
6 | IPS | 4 | 4 | 4 |
7 | Bahasa Inggris | 4 | 4 | 4 |
Kelompok B | ||||
8 | Seni Budaya termasuk muatan lokal *) | 3 | 3 | 3 |
9 | Pendidikan Jasmani, Olah Raga dan Kesehatan (termasuk muatan lokal). | 3 | 3 | 3 |
10 | Prakarya (termasuk muatan lokal) | 2 | 2 | 2 |
Jumlah | 38 | 38 | 38 |
*) Muatan Lokal dapat memuat Bahasa Daerah.
Gambar 3: Struktur Kurikulum Pendidikan Menengah
No | Komponen | X | XI | XII |
Kelompok A | ||||
1 | Pendidikan Agama dan Budi Pekerti | 3 | 3 | 3 |
2 | PPKN | 2 | 2 | 2 |
3 | Bahasa Indonesia | 4 | 4 | 4 |
4 | Matematika | 4 | 4 | 4 |
5 | Sejarah Indonesia | 2 | 2 | 2 |
6 | Bahasa Inggris | 2 | 2 | 2 |
Kelompok B | ||||
7 | Seni Budaya (termasuk muatan lokal) | 2 | 2 | 2 |
8 | Prakarya dan Kewirausahaan (termasuk muatan kolal) | 2 | 2 | 2 |
9 | Pendidikan Jasmani, Olah Raga dan Kesehatan (termasuk muatan lokal). | 3 | 3 | 3 |
Jumlah jam pelajaran Kelompok Wajib | 24 | 24 | 24 | |
Kelompok Peminatan | ||||
Matapelajaran peminatan akademik (untuk SMA | 18 | 20 | 20 | |
Matapelajaran peminatan akademik dan vokasi | 26 | 26 | 26 |
Berdasarkan penjelasan Mendikbud, standar isi berdasarkan Standar Isi Kurikulum Pendidikan untuk SD dan SMP mempunyai perbandingan sebagai berikut:
No | Jenjang Pendidikan | Pendidikan Karakter | Pendidikan Keilmuan |
1 | SD | 70% | 30% |
2 | SMP | 60% | 40% |
Demikianlah kebijakan pendidikan yang telah ditegaskan oleh Mendikbud. Di samping itu, untuk melaksanakan kebijakan tersebut, Mendikbud juga menjelaskan tentang proses perapan kebijakan tersebut melalui penerapan sekolah percontohan. Ini satu strategi kebijakan yang sangat tepat. Mendikbud telah memperoleh pembelajaran yang sangat berharga dari pelaksakaan Kurikulum 2013. Tanpa melalui proses evaluasi yang memadai, dan bahkan tanpa melalui uji coba melalui sekolah percontohan, proses penerapan Kurikulum 2103 telah menghadapi kendala dan hambatan. Itulah sebabnya, dalam penerapan kebijakan tentang penerapan Pola Pendidikan Dasar Berbasis Pendidikan Karakter akan diterapkan melalui sekolah percontohan.
Penerapan Sekolah Percontohan
Penerapan Pendidikan Berbasis Pendidikan Karakter dan berbasis Keilmuan tersebut pada tahun 2016 akan di terapkan pada 500 sekolah percontohan, dan pada tahun berikutnya akan teterapkan pada 1.500 sekolah percontohan, dan pada tiga tahun berikutnya, seluruh sekolah percontohan tersebut sudah menerapkan kebijakan Pendidikan Dasar Berbasis Pendidikan Karakter tersebut. Pendidikan Karakter merupakan pondasi bangsa. Demikian dijelaskan oleh Mendikbud. Jika pondasi kuat, maka apa pun yang akan dibangun di atasnya akan baik dan kokoh pula.
“Pendidikan karakter ini penting karena karakter merupakan pondasi suatu bangsa. Kalau pondasinya baik, maka apapun yang dibangun di atasnya akan baik dan kokoh, tetapi kalau pondasinya rapuh, maka semua yang dibangun di atasnya akan mudah roboh,” kata Menteri yang didampingi oleh Sesjen Kemendikbud Didiek Suhardi dan Bupati Banggai Herwin Yatim[1]
Bersamaan dengan penerapan pendidikan berbasis Pendidikan Karakter dan Keilmuan tersebut, konsep Full Day School mulai diberlakukan juga. Dengan demikian, jam pelajaran di SD dan SMP akan berlangsung selama delapan jam sepekan, dan pada Hari Sabtu tidak ada jam pelajaran, sehingga pada Hari Sabtu dan Ahad akan digunakan sepenuhnya sebagai Hari Keluarga. Alhamdulillah, penjelasan Pendidikan Dasar Berbasis Pendidikan Karakter ini sekaligus menjelaskan pula gagasan Full Day School (FDS) dalam tulisan sebelumnya telah ditanyakan kapankah gagasan tersebut dapat diimplementasikan di negeri kita tercinta Indonesia. Dengan demikian, tulisan ini ternyata telah menjawabnya dengan begitu jelas. Sudah barang tentu ada beberapa pembaca yang bertanya-tanya dalam hati tentang substansi pendidikan berbasis karakter tersebut, dan substansi apa pula untuk jenjang yang lebih tinggi. Sesuai dengan jenjang pendidikannya, substansi pendidikan karakter untuk pendidikan karakter akan lebih pas dengan peningkatan budaya sekolah (school culture) seperti budaya antri, budaya membuang sampah pada tempatnya, budaya menghormati orang yang lebih tua usianya, budaya literasi, dan sebagainya. Untuk mengamalkan pendidikan karakter tersebut, delapan belas PILAR NILAI-NILAI KARAKTER[2] yang telah disusun oleh Pusat Kurikulum menjadi rujukan utamanya.
Di samping jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP), untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi penyiapan tenaga kerja yang terampil dan pendidikan vokasi di SMA dan SMK menjadi substansi pendidikan yang paling penting, di samping penyiapan ternaga kerja terampil dalam bidang pertanian, dan bidang industri kreatif, sejalan dengan upaya peningkatan akses pelayanan pendidikan yang lebih merata. Untuk menutup tulisan ini marilah kita memahami kata mutiara Aristoteles yang menyatakan bahwa “ Educating the mind without educating the heart is no education at all” atau “Pendidikan otak tanpa pendidikan hati adalah sama sekali bukan pendidikan.”
Kebijakan Kedua: Link and Match (Life Skills)
Kebijakan Link and Match atau Kecakapan Hidup memang sangat penting untuk menghasilkan lulusan SMK agar dapat menggandeng dunia kerja. Dalam teori pendidikan, tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan adalah meliputi tiga ranah pendidikan, yakni ranah: (1) kognitif, (2) afektif, dan (3) psikomotor. Link and Match atau Life Skills adalah untuk mencapai tujuan pendidikan dalam ranah psikomotor.
Dalam Buku Fifty Years of Development of Indonesian Education[3], yang disusun oleh Mendikbud Wardiman Djojonegoro, pada saat itu Mendikbud sesungguhnya telah melaporkan perkembangan pendidikan Indonesia selama 25 Tahun, sejak 1945 – 1968/1969. Laporan Perkembangan Pendidikan tersebut sungguh lengkap, meliputi tiga periode perkembangan pendidikan.
PERTAMA, sejak awal kemerdekaan NKRI tanggal 17 Agustus 1945 kelahiran kurikulum pertama di negeri tercinta yang dikenal dengan LEER PLAN 1947 atau RENCANA PELAJARAN 1947 sampai dengan penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan kebijakan dan program sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikannya.
KEDUA, sejak penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikannya, upaya untuk melahirkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950, dan lika-liku pelaksanaan sistem pendidikan nasional pertama tersebut sampai dengan pelaksanaan program dan kegiatan pada tahun ajaran 1968/1969.
KETIGA, Pemerintah mulai melaksanakan Program Pembanguan Janga Panjang I (PJP I: 1969/1970 – 1993/1994[4]. Periode ini dikenal sebagai “the golden age of educational development” di negeri ini. Periode ini diibaratkan sama dengan periode taman kanak-kanak atau prasekolah. Dalam periode ini Pemerintah masih mengutamakan akses atau pemerataan pendidikan. Periode ini pun masih merupakan proses untuk mengawali program pemerataan pendidikan, terutama pendidikan dasar. Kebijakan dan program peningkatan mutu pendidikan belum disebutkan secara eksplisit sebagai kebijakan dan program secara dominan.
Pada periode ini, jumlah sekolah SD (dahulu disebut SR) mengalami kenaikan sepuluh kali lipat, dari 17.848 pada tahun 1940 menjadi 173.700 pada tahun 1994/1995, dengan APM (angka partisipasi murni) 93,5%. Jumlah sekolah SMP naik dari 156 pada tahun 1940 menjadi 27.600 pada tahun 1994/1995 dengan APM 56,4% . Sedang jumlah SMA meningkat 537 kali dari 27 pada tahun 1940 menjadi 79 pada tahun 1945, dan 14.500 pada tahun 1994/1995 dengan APM 36.0%. Pada periode ini, Indonesia berhasil memperluas kesempatan belajar bagi anak-anak bangsa, sekaligus upaya meningkatkan efisiensi, kualitas, dan relevansi pendidikan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan nasional.
Dalam periode ketiga inilah Wardiman Djojonegoro melahirkan program link and match atau program hubung dan kait antara pendidikan dengan dudi (dunia usaha dan dunia industri) untuk meningkatkan kualifikasi sumber daya manusia Indonesia dalam menghadapi era globalisasi dan kebutuhan tenaga kerja untuk industri masa depan.
Program link and match atau dalam Bahasa Indonesia kita sebut saja dengan program hubung dan kait antara pendidikan (khususnya sekolah menengah kejuruan) dengan DUDI (dunia usaha dan dunia industri). Periksa tulisan sebelumnya berjudul pemerintah harus menggandeng dudi (dunia usaha dan dunia industri). Dengan demikian, Inpres Nomor 9 Tahun 2016 yang diterbitkan oleh Presiden Jokowi sebenarnya merupakan kelahiran kembali program LINK AND MATCh yang digagas dan telah dilaksanakan oleh mendikbud Wardiman Djojonegoro sejak tahun 1995. Oleh karena itu, kebijakan tersebut perlu dikaji kembali dan bahkan direvitalisasi.
Program link and match tidak berjalan sendirian
Sebagaimana kita ketahui, tujuan pendidikan yang dilahirkan oleh Benjamin S. Bloom merupakan satu kesatuan dari tiga ranah pendidikan. Tiga ranah tujuan adalah: (1) ranah kognitif atau pengetahuan, (2) ranah afektif atau sikap, dan (3) ranah psikomotor atau ranah keterampilan atau kecakapan. Program link and match mengedepankan ranah keterampilan, yang oleh Wardiman Djojonegoro disebut life skills. Oleh karena itu, program link and match harus didukung oleh program yang dapat meningkatkan daya pikir siswa. “berfikir kritis bagi guru dan siswa SMA sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi.” Demikian tegas mustaghfirin amin, direktur pembinaan SMK. Dalam hal ini, HOTS (higher thinking skills) sudah menjadi kebutuhan lulusan SMK. Apakah hanya cukup itu? Tentu tidak. Program yang sangat diperlukan adalah pendidikan karakter dan karakter mulia. Bagaimana pun juga, selain memiliki bidang keahliannya, lulusan SMK harus memiliki delapan belas pilar-pilar nilai pendidikan karakter sebagaimana yang disebutkan oleh PUSKUR (Pusat Kurikulum). Setinggi apa pun kemampuan otak siswa SMK, dan sekuat apa pun keterampilannya, yang sangat diperlukan adalah lulusan SMK yang jujur.
Secara akademis, yang diperlukan adalah lulusan SMK, yang bukan hanya memiliki kompetensi sesuai bidang keahlian yang diperlukan oleh DUDI. Yang diperlukan adalah unjuk kerja atau performansi, karena competence baru bersifat knowing, tapi performance sudah bersifat doing.
Masih ada beberapa kebijakan pendidikan yang perlu kita kaji kembali dalam tulisan singkat (tidak lebih dari lima halaman) ini untuk diteruskan dengan kebijakan pendidikan yang berikutnya. Sebelum diteruskan lebih lanjut kepada kebijakan berikutnya, para memberikan kolaborasi terhadap dua kebijakan sebelumnya, agar penulis dapat memberikan perbaikan yang dipandang perlu, baik dua kebijakan sebelumnya maupun kebijakan mendatang. Dua kebijakan pendidikan mendatang direncanakan tentang Revitalisasi Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan. Insyaallah.
Jakarta, 7 November 2016.
Evaluasi mandiri:
- Apakah Anda telah membaca tulisan Kurikulum dalam Sistem Pendidikan Nasional? Kalau sudah jelaskan! Kalau belum, bertanyalah kepada dosen atau rekan Anda!
- Apakah Anda telah membaca tulisan tentang 18 PILAR NILAI PENDIDIKAN KARAKTER? Kalau sudah sebutkan! Kalau belum tanyakan kepada dosen atau rekan Anda!
- Apakah Anda telah membaca tulisan berjudul Kurikulum dalam Sistem Pendidikan Nasional? Kalau sudah sebutkan! Kalau belum tanyakan kepada dosen atau rekan Anda!
- Apakah Anda telah membaca tulisan tentang tiga tujuan pendidikan menurut Benjamin S. Bloom? Kalau sudah sebutkan! Kalau belum tanyakan kepada dosen atau rekan Anda!
- Apakah Anda telah membaca tentang pengertian ETIMOLOGIS kurikulum? Kalau sudah, jelaskan! Kalau belum, tanyakan kepada teman Anda!
[1] http://masdik.com/3253/artikel/pendidikan-dasar-berbasis-karakter/.
[2] Suparlan, Praktik-Praktik Terbaik Pelaksanaan Pendidikan Karakter, Yogyakarta: Hikayat Publishing, 2012.
[3] Djojonegoro, Wardiman. Fifty Years Development of Indonesian Education, Jakarta: Ministry of Education and Culture, 1995.
[4] SMK Bisa Hebat, Edisi Gratis.