Oleh Suparlan *)
Pada tanggal 11 Agustus 2016 saya telah mengunggah tulisan di laman pribadi berdasarkan tulisan dalam Suara.com, Selasa, 09 Agustus 2016 tentang gagasan Mendikbud tentang wacaca FDS (full day school). Berdasarkan pengalaman, kebijakan semacam itu sering dipandang tidak bijak oleh banyak pihak. Padahal sebenarnya merupakan satu gagasan kreatif.
Mengapa merupakan satu gagasan kreatif? FDS (full day school) sebenarnya harus dijadikan sebagai PPK Persiapan Pendidikan Karakter. Pertimbangannya adalah karena ranah afektif terabaikan dibandingkan ranah yang lain. Karena itu Anis Baswedan meluncurkan PBP (Penumbuhan Budi Pekerti) dengan alasan karena P4 tidak juga berdampak. Kurupsi semakin membengkak. Padahal sebelumnya Mendikbud sebelumnya Muhammad Nuh juga telah meluncurkan Pendidikan Karakter. Karena jauh sebelumnya Pendidikan Agama hanya menjadi pengetahuan agama, setali tiga uang dengan Pendidikan Olah Raga dan Kesehatan juga masih hanya menjadi “Pengetahuan Olah Raga dan Kesehatan.” Apa buktinya? Ujian yang diberikan hanya menanyakan tentang ukuran lapangan sepak bola. Sama dengan Pendidikan Agama, yang ditanyakan adalah “Sebutkan empat sifat baginda Rasul.” Bukan mengamalkan siddiq atau sifat jujur.
Kembali kepada kebijakan pendidikan, khususnya kebijakan FDS. Kelemahan kebijakan pendidikan di Indonesia adalah kurang persiapan dan perencanaan. Kurang uji publik secara meluas dan mendalam. Dengan kata lain kurangnya FGD (forum group discussion) atau diskusi kelompok terpumpun. Lebih dari itu, setelah diimplementasikan juga kurang konsisten dan konsekuen. Itulah kelemahan utamanya. Bahkan lebih-lebih lagi juga karena terlalu cepat menggirim ke arah politik praktis. Sebagai contoh, masalah substansi FDS belum dibahas secara tuntas, ada kelompok yang merasa memiliki kedekatan dengan Presiden, kelompok ini meminta kepada Presiden untuk segera mencopot Menterinya.
Belajar masa lalu tentang kebijakan pendidikan
Kebijakan FDS ini mengingatkan saya ketika bertugas menjadi Kekolah Indonesia Kuala Lumpur di Malaysia. Kebijakan tentang Sekolah Bestari atau Smart School (Sekolah Cerdas) di Malaysia hampir bersamaan dengan kebijakan SBI (Sekolah Berbasis Internasional) dan RSBI (Rintisan Sekolah Berbasis Internasional) di Indonesia hampir bersamaan dirancang dan dilaksakan. Kebijakan SBI dan RSBI lemah, dan oleh karena itu dengan mudah digoyang oleh masyarakat pendidikan, dan akhirnya mudah dimansuhkan oleh MK pada tanggal 8 Januari 2013.
Kebijakan tentang sekolah bestari atau sekolah pintar (smart school) di Malaysia sampai kini berjalan lancar dan masih bertahan sampai saat ini. Sekolah Bestari atau sekolah pintar di Malaysia melalui beberapa tahap sebagai berikut: tahap I (1999 – 2002) berhasil membangun 88 sekolah, tahap II (2003 – 2005) pelatihan ICT (information and communication technology) di semua sekolah, tahap III (2006 – 2010) penerapan standar ICT. Akhirnya penerapan tahap IV (2011 – 2020) merupakan tahap pelestarian sekolah sampai saat ini (http://www.epu.gov.my/) mengikuti hasil kajian untuk mencapai visi tersebut.
Beberapa komentar, usul, masukan, dan pemikiran untuk perumusan kebijakan
Berdasarkan pengalaman tersebut, Pemerintah Indonesia memang harus memperhatikan beberapa komentar, usul, dan masukan untuk perumusan kebijakan sebagai berikut:
- FDS dinilai telah menghilangkan mata pelajaran agama. Walaupun jumlahnya hanya dua jam mata pelajaran, minimal sudah ada dalam struktur kurikulum. Sudah ada guru yang bertanggungjawab dalam pelaksanaannya. Sedangkan FDS hanya menjadikan menyiapkan PPK (penguatan pendidikan karakter), tetapi dibenturkan dengan kegiatan madrasah dan pondok pesantren, yang konon sudah berjalan dan didukung oleh lembaga pondok pesantren.
- FDS dipandang sebagai cara untuk menghilangkan pendidikan agama. Bahkan FDS telah penjadikan pendidikan sekolah berlawasan dengan pendidikan masyarakat (pendidikan informal). Oleh karena itu, FDS dijadikan wahana untuk menghabisi PPK (penguatan pendidikan karakter).
- FDS dinilai menghapuskan Pendidikan Agama. Padahal konsep FDS nenjadikan PPK semuanya sebagai pendidikan agama, tetapi FDS dinilai memiliki kelemahan-kelemahan yang mendasar dari aspek ekonomi, misalnya dari segi sosial-ekonomi. Salah satu komentar yang ditanyakan tentang kebijakan FDS adalah soal isu sosial ekonomi, karena kondisi sosial ekonomi, antara lain pertanyaan “apakah makan peserta didik ditanggung sekolah?
- FDS dinilai tidak cukup kuat, karena konon disiplin guru di sekolah negeri sangat lemah. Menurut pengamatan pembaca, absen para guru di sekolah negeri cukup tinggi. Banyak guru yang bolos. Dengan demikian dengan kondisi gurunya yang jarang masuk sekolah, bagaimana manajemen kelasnya, apakah anak-anak tidak akan tambah liar di sekolah? Ngobrol, bercanda, bermain, menyelinap ke warung-warung sekitar sekolah, merokok, dan sebagainya. Apakah dengan demikikan PPK tidak justru melemahkan pendidikan karakter itu sendiri?
- Pekerjaan rumah peserta didik. Kapan peserta didik mengerjakan PR? Padahal kebanyakan guru “suja memberikan PR” sementara itu anak-anak pulang sekolah sudah payah dan tidak lagi fokus dalam mengerjakan PR dan belajar.
- Peserta didik di sekolah swasta sudah biasa dengan FDS, yakni masuk pukul 7.00 pulang pukul 15.30. Tapi tidak ada PR lagi. Dapat istirahat sebentar, masih sempat bermain dengan teman-teman tetangganya, dan yang lebih penting adalah Sabtu dan Ahad libur.
- Ada komentar yang agak sinis, begini. Kurikulum 2013 (K-13) belum selesai BOSS! Muncul lagi FDS (full day school). Jangan-jangan karena Bahasa Inggris, biar dibilang keren!
- Sekolah fullday di Jakarta juga pada, baik pagi dan sore hari. Harus menjadi pertimbangan. Selain itu banyak anak-anak SMP yang ikut BIMBEL di sore hari dan hari libur. FDS OK tapi bukan hanya untuk tambahan seni budaya dan keartifan lokal saja, tapi masa kecil harus diberikan dasar-dasar agama yang kuat juga, misalnya membaca dan menghafal Al-Quran, bukan bisa dan pinter nyanyi/menari saja. Pemimpin yang baik harus berfikir jauh ke depan, dunia dan akhirat. Saya setuju dengan dua hari libur, tapi untuk FDS no! Anak saya punya adik yang juga butuh perhatian dan teman bermain dengan kakaknya. Kasihan kan?
- Pak! Indonesia bukan cuma Kota Besar. Sekarang saja jutaan anak ke sekolah barus lewat rawa, menyeberang kali, naik perahu, gelantungan tali untuk nyebrang kali yang sering banjir, nembus hutan, melawan lumpur dan hujan. Berangkat masih gelap, pulangnya juga jelang gelap. Boro-boro uang jajan, bekal atau makan, sampai di rumah masih harus bantu kerja supaya sekedar bisa makan. Gurunya kan juga punya suami/istri dan anak yang harus diurus. Hadeeuuh …. Semoga saya yang gagal memahami kebijakan tersebut dan gagal menangkap pikiran Anda.
- Saya dulu sekolah sampai siang saja strees, apa full day. Jangan mentri ini cari sensasi…
Akhir kata
Inilah cuaitan media masa yang dapat terekam. Masih banyak kata yang harus dikeluarkan dari kata hati. Tapi semua ada batasnya. Pertimbangannya banyak hal. Ada yang substantif di samping aspek teknis. Aspek sosial, ekonomi, lokal, nasional, bahkan politik, termasuk pengaruhnya terhadap hubungan Menteri dengan Wakil Presiden dan bahkan dengan Presiden. Lebih dari itu juga hubungannya dengan peran serta masyarakat. Sejak kelahiran UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, semuanya memang sudah diatur. Namun meskipun dalam perencanaannya memang tidak tuntas didiskusikan secara total, pelaksanaannya pun sekali lagi tidak secara konsisten dan konsekuen.
*) Laman: www.suparlan; surel: me@suparlan.com; portal: masdik.com.
Depok, 30 Juni 2017.